Musim yang kerap menjauhkan, memisahkannya dengan hujan. Sudah menjadi pola yang berulang bagi pemain harpa itu, saat musim berganti, saat itu pula ia akan tergerak untuk berpindah kerja. Mungkin ia ingin bersinkronisasi dengan alam, atau hanya karena cepat bosan. Harum pun tidak mengerti alasan yang mendasarinya itu.
"Untung di Indonesia cuman ada dua musim, kalau ada empat pasti kamu lebih sering jadi pengangguran dibandingkan dapat pekerjaan baru," ujar Sena.
"Kan cari pengalaman."
"Itu namanya pelarian."
"Beda tipis."
Berbeda dengan Harum, karier Sena sebagai chef lebih stabil. Ia dapat bertahan di tempat kerja yang sama selama bertahun-tahun.
"Kamu cocok dapat penghargaan sebagai pegawai yang loyal," ucap Harum.
"Yang mengabdi pada kafe ini dan berbakti pada atasan," sambung Sena menambahkan predikat yang cocok untuk disematkan pada dirinya.
"Tapi suka ngomongin atasan di belakang juga kan?"
"Gossip girl always here."
Bukan tanpa alasan Sena setia pada tempat kerjanya, hal itu karena ia sering di tolak di restoran elit yang jadi impiannya sejak dulu. Sebuah restoran di jantung kota Manhattan pernah menjadi incarannya, tapi bermodal sertifikat S2 dan keahlian memasak saja tidak cukup. Impiannya bertepuk sebelah tangan dan membuat ia harus kembali ke Jakarta.
Penolakan yang kerap diterimanya membuat ia malas melamar di tempat kerja baru. Sena memang sering takut dengan perubahan dan tak jarang membuatnya terjebak di ruang yang memberikannya banyak kenyamanan.
"Aku jadi chef pribadi kamu aja deh Rum."
"Bima lebih jago masak dibanding kamu."
"Yaudah aku jadi guru masak kamu supaya kamu bisa jadi istri pengusaha yang bisa masak makanan enak."
"Aku mau bangun rumah tangga bukan rumah makan."
"Tapi literatur ilmiah yang aku baca menyebutkan makanan enak yang dimasak istri bisa mempengaruhi keharmonisan rumah tangga."
"Bima ngedenger aku main harpa juga udah kenyang kok."
"You talk about no sense," ledek Sena pada temannya itu.
"I talk about sense of loving. You don't get it"
Hari itu menjadi perpisahan Sena dengan Harum. Bima menawarkan Harum untuk sekolah musik atau bergabung sebagai pemain orkestra tanpa harus lagi bekerja di tempat itu. Pilihan yang tidak mudah baginya, tapi selama ia masih bisa berdekatan dengan harpa, Harum tidak masalah.
***
Cinta memang kerap penuh misteri, hadirnya yang tak pasti tidak bisa dipungkiri. Mungkin rasa itu menyelinap dibalik petikan harpa yang dimainkan Harum. Sebagai seorang yang bukan pecinta musik klasik, entah apa yang membuat Bima sering dibuat takjub dengan harpa yang dimainkan oleh Harum.
Kini ia sedang memainkan harpa di ballroom hotel tempat biasanya ia bekerja. Penampilan solonya itu bukan untuk pernikahan orang lain, melainka di pernikahannya sendiri.
"Selain bisa bahasa Perancis, aku juga berbakat jadi pengiring kamu bermain harpa. Aku bisa nyanyi, main biola dan piano."
"Bakat kamu sebaiknya dipendam aja," Harum meragukan kemampuan multitalenta yang dimiliki Bima.
"Padahal suara aku bagus."
"Nyanyi buat aku aja ya," pintanya halus. Ia takut tamu undangan penikahannya kabur mendengar suara Bima.
Diantara tamu undangan yang hadir itu terdapat Candra dan Indira. Hubungan Bima dengan keduanya masih terjalin baik. Terutama hubungan bisnis Bima dengan pelukis itu. Harum juga akhirnya bertemu dengan Indira, perempuan yang pernah singgah di hati Bima itu memang memiliki kecantikan luar dan dalam yang terpancar sempuna, siapapun setuju dengan pendapatnya itu.
Konsep pernikahan itu didesain mingle, sehingga Bima dan Harum bida mudah berbincang dengan para tamu undanga. Keduanya menemui Indira dan Candra. Pengacacra itu bercerita tentang kasus yang sedang ditanganinya. Mereka juga berbincang tentang lukisan-lukisan Candra. Candra sudah menjadi seniman yang karyanya diburu banyak orang, tidak sulit bagi Bima untuk memasarkan karya-karya avant-gard Candra kepada para borjuis yang dikenalnya.
***
Indira masih bekerja sebagai pengacara di lembaga bantuan hukum setelah ia menikah. Kasus yang baru saja ia tangani mengani masalah buruh pabrik es. Buruh perempuan yang dipekerjakan di pabrik itu tidak diberikan cuti hamil dan melahirkan sehingga banyak terjadi kasus keguguran. Mereka tetap diforsir untuk bekerja tanpa diberi kompensasi.
Aliansi buruh perempuan itu menuntut pertanggungjawaban perusahaan. Mereka dituntut karena tidak mengutamakan keselamatan kerja para pegawainya. Perusahaan itu juga tidak mementingkan jaminan kesehatan untuk para buruh, padahal banyak kondisi kesehatan mereka yang terganggu.
Selain kasus keguguran karena cuti hamil yang tidak diberikan, sebagian buruh juga ada yang terkena bronkitis karena terpapar zat amonia saat melakukan proses produksi. Serta banyak rentetan kasus lainnya yang bisa dijadikan bukti kuat untuk menuntut tanggung jawab dan ganti rugi perusahaan agar para buruh tersebut bisa memperoleh hak yang semestinya.