Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #10

Pixel 10

Dalam balutan gaun berwarna magenta, perempuan itu tampak anggun bersanding dengan alat musik yang konon dimainkan para Dewa Yunani. Sejak denting pertama, ia langsung menjadi sosok yang berbeda. Tangannya dengan mahir memetik senar harpa dan hanyut dalam emosi lagu. Jari-jarinya bergerak mengikuti aliran nada yang tenang dan perlahan mengalun dengan tempo cepat. Perpaduan melodi harpa dan alat musik dalam orkestra itu terdengar harmonis.

Gema tak berhenti mengamati penampilan tersebut dari bangku penonton. Pandangannya seolah tak ingin melewatkan sedetikpun elegansi musik klasik yang terdengar dari petikan harpa. Ia selalu kagum sekaligus terintimidasi karena tidak mampu memainkan alat musik tersebut. Jika perempuan itu tidak menyuruhnya untuk memotret, mungkin ia bisa lebih fokus menikmati alunan lagu yang dimainkan, tanpa harus sibuk membidik kamera.

Angle kanan ya Gem, pokoknya hasil fotonya harus bagus!”

Lagu kedua yang dibawakan perempuan yang dipanggilnya Mama itu berjudul “Beneath The Horizon.” Sebuah lagu yang khusus ia ciptakan untuk suaminya yang tidak pernah absen menyaksikan penampilannya. Meskipun Bima harus membatalkan pertemuan penting di kantor ataupun berpacu dengan padatnya kendaraan yang membuatnya berujung di atas jok ojek online, namun kini untuk pertama kalinya lelaki itu tidak hadir. Bukan karena sebuah pertemuan sangat penting yang benar-benar tidak bisa ia lewatkan, namun Bima harus pergi menuju horizon yang berbeda.

“Papa pasti senang lihat penampilan Mama dari atas sana.” Gema berusaha menguatkan perempuan yang selalu mahir menyembunyikan kesedihannya.

Malam itu menjadi penampilan pertama setelah sebulan kepergian suaminya. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok lelaki itu—sumber inspirasinya dalam mengahasilkan karya sekaligus pelariannya dari dunia musik yang seringkali menyita waktu. Petikan harpa yang ia mainkan menguntai banyak kenangan, namun ia tidak mau membalutnya dengan tangisan.

Jika bukan karena kontrak kerja yang sudah ditandatangangi untuk tampil sebagai pembuka pada konser Aiko Hanaka—pianis terkenal asal Korea Selatan yang berdarah Jepang—ia mungkin tidak akan hadir pada malam itu. Menjadi pemain harpa merupakan hal yang disenanginya, namun lain halnya dengan terjun di dunia musik. Baginya itu merupakan dua hal yang berbeda, rambu-rambu keindahan yang disajikan panggung hiburan seringkali terasa tidak sesuai dengan dirinya. Ia tidak sanggup memenuhi ekspektasi penikmat karyanya tentang citra seorang pemain musik klasik.

Setelah penampilannya selesai, ia memeluk Gema dengan erat. Di bahu anak lelakinya itu ia meluapkan air mata yang ia tahan di atas panggung.

“Gema pasti selalu hadir di setiap penampilan Mama,” bisiknya pelan. Ia tahu ibunya yang merasa paling kehilangan dan masih larut dalam kesedihan.

Seutas senyuman kembali terpancar di garis wajahnya. Perempuan itu berusaha menyeka air mata sambil bertanya dengan penuh selidik, “Kamu yakin?”

Anak lelakinya mengangguk.

“Bukannya kemarin kamu mau jual tiket yang Mama kasih?”

Gema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil berusaha mencari alasan yang tepat. Ia memang sangat jarang melihat Harum memainkan harpa di acara musik. Gema selalu malas dan menolak jika dipaksa datang ke acara musik, terlebih ia tidak memahami musik klasik. Namun malam itu, ia berada di barisan paling depan menyaksikan penampilan Harum. Perempuan dengan alunan harpanya yang mampu memukau siapa saja yang mendengarnya.

“Aku kira mau dikasih dua tiket, kan sekalian bisnis Ma.”

“Kalau sekalian mau bisnis, kamu harus jadi promotor konser Mama.”

“Nah, awalnya kan jadi calo tiket dulu Ma.”

Harum tahu betul anak laki-lakinya itu selalu punya alasan untuk menolak saat diajak menyaksikan penampilannya bermain harpa, namun malam itu ia senang melihat Gema hadir.

“Kamu tuh kenapa sih Gem ga suka musik klasik? Padahal dari dalam perut udah Mama kenalin Mozart sama Beethoven, tapi kayanya kamu lebih kenal sama Rhoma Irama.”

Gema senang melihat ibunya sudah tidak terlalu larut dalam kesedihan, meskipun ia tahu ibunya masih menyimpan rasa sakit sendirian.

Seminggu setelah kepergian ayahnya, ia sering mendengar ibunya bermain harpa di tengah keheningan malam. Ia terkadang terbangun dan hanya mengamati, namun suatu ketika Gema terpaksa harus menghampiri dan menghentikan petikan harpa tersebut. Harum tidak menyadari senar yang ia mainkan terputus dan jari-jarinya berdarah.

“Mama butuh rehat sejenak dari ini semua. Walaupun Gema tahu Mama kuat, tapi tubuh dan pikiran Mama tetap butuh istirahat,” ujarnya kala itu sambil berlutut membersihkan luka di jari perempuan yang sangat ia sayangi.

Jika mengasihi dan menyayangi dibedakan berdasarkan hierarki, maka Papanya akan berada di tingkatan kedua. Mamanya selalu menjadi perempuan pertama yang berada di kasta tertinggi dalam urutannya mencintai.

Saat suaminya terbaring sakit, Harum memainkan harpa. Seperti dokter yang meracik obat, ia memberi racikan nada yang langsung bekerja pada tingkat molekul. Melodi yang dimainkannya dapat mempengaruhi sel tubuh suaminya agar berfungsi optimal. Teknik tersebut belum terlalu mahir dikuasai, namun ia senang melihat suaminya dapat tersenyum kembali. Meskipun pada akhirnya petikan harpanya harus menyerah pada sel kanker yang menyerang tubuh suaminya.

***

Kini Gema melihat sinar kebahagiaan yang perlahan mulai terpancar kembali dari sosok Mamanya. Terutama rasa antusiasnya dapat kembali memainkan harpa dan cara perempuan itu melihat alat musik yang sudah menjadi bagian dari dirinya.

“Kok foto Mama ga ada yang bagus Gem? Kalau Papa kamu yang foto pasti Mamanya cantik,” terdapat jeda panjang setelah kalimat tersebut, “Katanya kamu di kuliah belajar fotografi, tapi foto Mama aja ga bisa.”

“Dosennya jarang masuk Ma.”

“Bukannya kamu yang jarang masuk? Seminggu kemarin kamu di rumah aja kan? Padahal udah dibeliin kamera mahal-mahal, awas kalau dijual lagi!”

Gema hanya tersenyum mendengar omelan Mamanya, “Boleh juga tuh Ma sarannya.”

Gema sudah terbiasa dengan rangkaian kalimat bertempo cepat yang setiap hari ia dengar dari mamanya. Kalimat yang tidak pernah absen menjadi alarmnya di pagi hari sekaligus menjadi pengganggu yang merusak kesempatannya untuk tidur kembali.

Menurutnya alarm yang paling menyenangkan adalah aroma kopi panas yang dibuatkan Mamanya, sedangkan yang paling tidak menyenangkan adalah yang disiramkan.

Akhir-akhir ini Gema sempat kehilangan alarm pagi harinya, “Jangan sedih-sedih lagi ya Ma.”

Perempuan itu menyadari Gema masih tetap membutuhkannya. Gema pula yang menjadi alasannya untuk kembali menatap hidup. Ia perlahan melepaskan diri dari kesedihannya, dinding kokoh ketegaran yang telah hancur berusaha ia bangun kembali. Anak lelakinya itu yang menjadi fondasi terkuatnya.

Lihat selengkapnya