Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #11

Pixel 11

Ruko tiga lantai itu selalu menjadi tempat yang nyaman baginya. Berhadapan langsung dengan toko bangunan yang dibatasi jalan dengan ukuran yang cukup lebar. Kedua bangunan tersebut pada awalnya berada di tengah pasar, namun beberapa tahun yang lalu terjadi perbaikan tata ruang kota dan menyebabkan perubahan yang cukup besar. Bangunan pasar beralih fungsi menjadi lahan terbuka hijau dan hanya ada beberapa bangunan yang tersisa. Lokasi pasar dipindahkan, meskipun jaraknya tidak jauh namun memberi perubahan yang besar.

Bagi Windu pemindahan pasar tidak terlalu memberikan pengaruh yang buruk. Meskipun hal itu membuat toko optiknya menjadi sepi selama beberapa tahun terakhir, namun ia senang ruko tiga lantai itu menjelma rumah pensiun yang ideal baginya.

“Tinggal dimanapun asal sama Kakek, aku pasti nyaman dan sejahtera,” ujar Iris saat Kakeknya sempat menanyakan apakah ia tetap ingin tinggal di ruko tiga lantai itu.

Sudah banyak yang ingin membeli tanah dan bangunan yang mereka tempati. Letaknya yang strategis membuat harga jualnya cukup tinggi, namun Windu tidak tertarik dengan hal tersebut. Baginya, kenangan di ruko tiga lantai itu lebih berharga dari apapun.

Tumbuh dan besar di lingkungan yang tidak jauh dari pasar membuat Iris sudah terbiasa dengan keramaian. Dari lantai dua rumahnya, ia mengamati hujan yang sedari tadi mengguyur. Ketukan pintu di bawah membuatnya bergegas turun.

Perempuan itu menghampiri seorang gadis kecil keturunan Tionghoa. Ia datang bersama ibunya memberikan kue bulan untuk Iris dan Kakeknya.

“Ini buat Kak Riris.”

“WAH MAKASIH!” ujarnya penuh antusias.

“Aku tunggu angpaonya ya Kak.”

"Ling Ling... ga boleh gitu." Ibu gadis kecil yang biasa disapa dengan panggilan Cici segera menegur anak perempuannya.

"Oke siap Ling! Aku atraksi barongsai dulu ya supaya dapet cuan."

“Bohong ga usah Ris, salam aja ya buat Kakek.”

“Siap Ci, nanti aku kasih tahu.”

Biasanya Iris diberikan kue bulan saat bertepatan dengan hari Imlek, namun karena keluarga Ling Ling baru saja pulang liburan jadi ia baru sempat memberikan. Hari itu tepat sepuluh hari setelah perayaan Imlek, terdapat Festival Cap Go Meh yang diselenggarakan setiap tahunnya digelar di sepanjang jalan pasar. Dimulai dari bangunan Vihara yang terletak di bagian depan pasar hingga bangunan di ujung pasar dihias dengan nuansa merah dan emas.

“Kuenya aku taro di meja ya Kek. Aku mau keluar dulu.”

“Mau kemana Ris?” ujar Windu yang sedang berada di lantai tiga rumahnya.

“Mau lihat barongsai.”

“Ga sarapan dulu?”

“Nanti aja Kek.”

“Jangan lupa beli angpao,” ucap Windu teringat gadis kecil kelas satu SD itu yang tadi baru saja memberikan kue khas Imlek. Keluarga Ling Ling memang cukup dekat dengan Windu dan Iris.

“Iya nanti aku sekalian cari.”

Iris melangkahkan kaki menuju pusat keramaian Festival Cap Go Meh. Hujan mulai mereda, menyisakan gerimis yang membungkus kota. Tidak seperti pasar pada umumnya, pasar dekat rumahnya dilengkapi fasilitas drainase yang memadai sehingga tidak ada kubangan air yang tergenang saat musim hujan mulai tiba. Sejak dilakukan perbaikan dan pemindahan, bangunan pasar nampak bersih dan lebih tertata.

Pasar seolah menjadi habitatnya, tidak sulit bagi perempuan itu untuk bersahabat dengan tempat yang sudah ia kenal sejak kecil. Pasar juga yang membuatnya mengenal tiga teman kecil yang kini nampak sedang memanggilnya dari kejauhan.

“KAK RIRIS!” ujar Dana dengan teriakan cukup keras membuat orang-orang disekitarnya ikut menoleh.

“Kok baru dateng sih kak?” tanya Wisnu, ia yang paling tua diantara mereka bertiga.

“Iya nih, aku bangunnya kesiangan.”

Dana dan Wisnu terpaut usia yang tidak jauh berbeda, hanya setahun. Wisnu seharusnya duduk dibangung kelas empat, sedangkan Dana kelas tiga, namun keduanya tidak besekolah. Bukan karena kendala biaya, namun orangtua mereka masih memiliki kesadaran rendah tentang pentingnya pendidikan.

“Kak aku payungin ya!” ujar Dana.

“Sama aku aja Kak dipayunginnya, gratis loh,” ucap Wisnu tidak mau kalah.

Mereka bedua terbiasa menjadi ojek payung saat sedang hujan, namun lebih sering menjual kantong plastik di sekitar pasar.

“Aku juga gratis ko Kak.”

“Dana mending kamu payungin aku aja,” ujar gadis kecil bernama Kumala. Ia yang paling kecil diantara mereka dan beruntung masih disekolahkan TK oleh orangtuanya.

Lihat selengkapnya