Gema tidak berhasil menemukan seseorang yang sudah merusak kamera dan melukai hidungnya. Mobilnya masih mengitari pasar, menuju sebuah toko optik yang letaknya tidak jauh dari tempat Festival. Tidak begitu sulit untuk menemukan tempat yang ia tuju. Sore kemarin ia sudah mencari keberadaan toko optik itu, namun saat hendak berkunjung, toko tersebut tutup.
Ia juga sudah berusaha untuk mencari letak titik koordinat yang tertulis di kanvas lukisan itu, namun pencariannya tak membuahkan hasil. Namun Gema ingat ayahnya juga menyuruhnya untuk mencari sebuah toko optik di dekat pasar.
Pandangannya mengarah pada sebuah bangunan dengan gaya klasik yang berbanding terbalik dengan ruko-ruko modern yang sebelumnya ia lewati. Penjaga toko yang tidak lagi muda sedang membersikan etalase kaca berbingkai kayu mahoni. Nuansa klasik semakin terasa saat ia melihat beragam frame kacamata yang sepertinya sudah lebih dari satu dasawarsa.
“Mau cari Iris?” tanya Windu dengan ramah. Ia mengamati seorang yang berdiri di depan toko optiknya, lelaki itu berusia tidak jauh berbeda dengan cucu perempuannya.
Gema memang sempat melihat tulisan Iris Optik di bagian depan, namun ia tidak tahu siapa Iris yang dimaksud.
“Oh bukan,” jawabnya cepat.
Gema tidak mungkin langsung mengatakan bahwa ia sedang mencari alamat yang diamanatkan ayahnya sebelum meninggal. Walaupun bangunan ruko lantai tiga itu membuat ia yakin sudah mendatangi toko optik yang benar, namun ia masih harus memastikan apakah orang yang kini ditemuianya berkaitan erat dengan lukisan yang sedang ia cari.
“Saya mau pesan kacamata,” ujarnya berusaha meyakinkan.
Penjaga optik itu tersenyum sumringah, wajahnya yang dihiasi garis-garis kerutan terlihat semakin ramah. Penantian satu dasawarsa itu akhirnya tiba, Windu kembali mendengar kalimat yang sudah terlalu asing di telinganya. Biasanya yang berkunjung ke toko optik hanya untuk mencari cucunya atau sekedar mengobrol dengannya
“Boleh dilihat-lihat dulu model kacamatanya.”
Entah kacamata mana yang akan ia pilih. Kacamata tempo dulu yang terpajang di etalase kaca itu sepertinya sudah sangat tua, bahkan Profesor yang sudah sangat senior di kampusnya pun tidak memakai kacamata dengan frame sejadul ini. Tidak hanya kacamata baca, terdapat pula beberapa sunglasses yang penah tren pada masanya dan terpajang rapi di etalase kaca tersebut.
“Kacamata model ini dipakai sama Will Smith di Men in Black pertama," jelas Windu sambil mengingat salah satu film favoritnya yang ditayangkan dua dekade silam.
Gema mengangguk seolah mengetahui. Ia memang penah menonton Men in Black, namun ketika film itu sudah dibintangi oleh Chris Hemsworth, bukan lagi Will Smith.
Penjaga optik itu menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, ia hampir lupa dimana menyimpan kotak yang berisi berbagai macam lensa. Windu merasa seperti baru pertama kali melakukannya, padahal hal itu sudah menjadi kebiasaan rutin di masa silam.
“Hidung kamu berdarah? tanya Windu khawatir.
“Oh gapapa, ini tadi.. em.. abis jatuh Kek,” jawabnya terbata.
Ia segera memberikan sebuah plester pada Gema.
“Makasih Kek.”
“Mata kamu minus berapa?”
Penjaga optik itu memberikan lensa kepada Gema. Ukurannya sesuai dengan bilangan angka yang disebutkan. Entah mengapa kedua panca indranya terasa pusing saat mencoba lensa tersebut.
“Kamu biasa pakai kacamata?”
Gema mengangguk, kali ini ia tidak berbogong. Lelaki itu memang menggunakan kacamata jika sedang duduk di belakang saat di kelas atau ketika menonton film agar terlihat lebih jelas. Alat bantu optik tersebut jarang digunakan untuk kegiatan sehari-hari, karena jarak pandangnya masih cukup jelas.
“Mungkin ukuran lensanya yang salah.”
“Astaga. Bukan ukurannya ternyata, tapi lensanya yang salah.”
Windu merasa tidak enak dengan kesalahan yang ia lakukan dan segera mengganti lensa yang sesuai.
Pantas saja kedua matanya terasa berat dan kepalanya sedikit pusing. Lensa yang ia pakai seharusnya untuk penderita rabun dekat seperti bapak-bapak ataupun lansia, bukan mahasiswa seperti dirinya. Beruntung hanya sedikit pusing yang Gema rasakan dan matanya masih dapat melihat normal.
Jika saja bukan karena pesan yang ayahnya ulis sebelum meninggal, mungkin Gema tidak perlu berada di toko optik itu. Tapi ia akan tetap memenuhi keinginan terakhir ayahnya dan misi pencariannya kali ini harus ia lakukan dengan penuh kehati-hatian. Tetap merahasiakan dari Mamanya adalah pilihan yang tepat sejauh ini. Begitu pula dengan pendekatan yang ia lakukan dengan penjaga toko optik itu. Berpura-pura memesan kacamata yang sebenarnya tidak ia butuhkan.
“Kacamatanya bisa ditunggu Kek?”
“Biasanya pengerjaannya satu minggu.”
Gema tidak mau mengulur waktunya selama satu minggu untuk menemukan lukisan itu. Ia harus mencari cara untuk kembali ke toko optik itu esok hari. Berharap lukisan yang hilang bisa segera ia temukan.
Benak lelaki itu masih dihinggapi keraguan untuk menanyakan tentang lukisan yang ia cari. Ia khawatir jika lukisan itu membawanya pada hal-hal yang tidak diinginkan. Mungkin memang ada alasan khusus mengapa lukisan tersebut harus disembunyikan, ia masih tidak tahu.
“Tapi kalau ada kendala, biasanya dua minggu.”
Lelaki itu kembali menggangguk pasrah, “Nanti kabari saya aja ya Kek.”
***
“Makasih Kak Riris,” ujar Ling Ling setelah Iris memberikan sebuah amplop berwarna merah dengan motif emas khas Imlek.
Amplop tersebut sengaja ia ambil dari hiasan yang mengantung di sepanjang festival, kemudian diisi dengan beberapa lembar uang kertas. Ia sebenarnya ingin membeli, tapi tidak ada yang menjual amplop satuan.
“Sama-sama Ling Ling,” balasnya Iris sambil tersenyum.
Setelah penyamarannya gagal, perempuan yang sempat cosplay barongsai itu langsung menjauhi keramaian festival menuju rumah Ling Ling untuk memberikan angpao. Ia sebenarnya ingin kembali menonton festival, hiburan tahunan yang tidak pernah ia lewatkan. Namun Iris lebih memilih untuk mengisi perutnya yang lapar.
“Ga nonton festival Neng?” tanya penjaga warung saat ia memesan makanan.
“Udah bu.”
“Udah nonton barongsai?”
“Jadi barongsai juga udah bu.”
Tidak lama berselang, sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk tersaji dihadapannya. Dengan lahap ia menyantap makan siangnya dan seketika menyesal sudah menolak tawaran Kakeknya untuk sarapan.
“Kak, kita minta maaf.”
Baru beberapa suap ia habiskan, Iris kembali melihat ketiga teman kecilnya yang datang menghampiri. Perempuan itu lagi-lagi tidak menghiraukan dan tetap fokus dengan makan siangnya.
“KITA JANJI GA AKAN MENGULANGINYA! SUMPAH KAK!”
Ia masih tetap mengabaikan ketiga temannya yang sedari tadi membujuknya untuk berdamai. Seharusnya Iris bisa dapat kuliner gratis jika saja berada di festival lebih lama.
“Ini yang terakhir kali ko kak. Mala siap dihukum kalau bohong. Janji!” Gadis kecil itu berbicara sambil mengangkat kedua jarinya.
“Kita janji ga akan mencuri lagi kak, tapi kita tetap butuh uang yang tadi...” Wisnu berusaha membujuk.
“Satu dompet juga gapapa kak,” pinta Dana dengan senyum terselubung.
Seorang yang mereka panggil kakak itu tiba-tiba meletakan sendok dan menatap tajam ketiganya.
“Gara-gara kalian...” Ia mengunyah cepat agar makanannya dapat segera ditelan. Iris mengatur nafas dan mencoba mengendalikan emosi.
Kata-katanya tedengar penuh penekanan, “Aku yang ga punya uang ini tadi ngerusakin lensa orang, kalau disuruh ganti rugi gimana?”
Anak-anak yang berdiri di sampingnya terdiam dan tertunduk menyadari kesalahan yang sudah mereka diperbuat.
“Yaudah uangnya buat kakak aja.”
Dana nampak bingung dan tidak terima mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Wisnu, namun mereka bertiga hanya bisa pasrah.
“Sejak kapan kalian mencuri?”
“Baru tadi aja ko Kak. Itu yang pertama kali Kak.”
“Kalau besok ada kedua atau ada salah satu dari kalian yang ambil barang orang lain lagi—”