“Kenapa kamu pindah jurusan?”
Iris tidak memaksa Rimba untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya berharap lelaki itu mau berbagi tentang kegelisahan dan masalah yang dihadapinya.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk dijalani. Empat semester di bangku perkuliahan sudah dilewati, namun lelaki itu tetap memilih untuk mengulang sebagai mahasiswa baru di kampus dan jurusan yang berbeda.
“Ga cocok sama jurusannya.”
Sebagai mahasiswa teknik industri, Gema merasa apa yang dipelajari di kuliahnya bertentangan dengan dirinya. Ia bahkan pernah melakukan demonstrasi saat ada pabrik semen yang akan mendirikan pabrik di daerah resapan air yang dapat merugikan warga, namun usahanya sia-sia.
“Ga sayang sama dua tahun kamu? Tinggal dua tahun lagi loh padahal, kan kamu bisa ambil peminatan teknik lingkungan.”
“Aku di-DO,” terdapat jeda panjang setelah kalimat tersebut dan keheningan menyelimuti mereka.
“Aku bukan pindah. Aku tahu Ris, waktu dua tahun, biaya kuliah dan semuanya jadi sia-sia.”
Rimba termasuk mahasiswa yang paling aktif mengkritisi kebijakan kampus dari segala aspek. Terutama mengenai fasilitas penunjang yang mendukung kegiatan belajar dan juga kebijakan mengenai penerapan biaya kuliah yang dianggap merugikan mahasiswa.
Sayangnya karena aksi demonstrasi yang sering ia lakukan membuat nilai IPKnya tidak terlalu bagus. Hal itu yang menjadi bumerang bagi dirinya, sekaligus kesempatan bagi pihak kampus untuk mengeluarkannya.
“Waktu mau UAS, nama aku udah ga ada di absen, ga dapet kartu UAS. Ga bisa ikut ujian. Kata mereka nilai aku jelek, absensi aku kurang, jadi aku di-DO.”
Rimba dikalahkan oleh idealismenya sendiri.
“Aku yakin ga ada yang sia-sia. Kamu pasti lebih tahu mana yang terbaik untuk diri kamu.”
“Orangtua aku ga tahu kalau anaknya di-DO, mereka pasti akan kecewa. Makanya aku lebih pilih bilang untuk pindah kuliah.”
Iris idak menyangka lelaki itu akhirnya mau bercerita tentang masalah yang selama ini menjadi bebannya.
“Aku pilih jurusan kehutanan."
"Karena sesuai sama nama kamu?"
"Karena oksigen ga pernah habis di muka bumi,” ujar Rimba berbicara tentang paru-paru dunia sambil menghisap sebatang rokok yang mulai habis.
“Kalau kamu gimana Ris?”
Perempuan itu kembali pada pertanyaan sulit yang sering ia dengar akhir-akhir ini. Jika saja ada kunci jawaban mungkin ia akan langsung membelinya. Namun mendapat jawaban terbaik saja tidak cukup saat kebingungan masih menyelimuti dan membuatnya tidak tahu untuk melakukan apa.
“Aku ga seberani kamu untuk buat pilihan. Aku masih bingung mau ambil jurusan apa, dan ga juga tahu mau jadi apa.”
Jika saja Iris tidak gagal masuk universitas yang diinginkannya, mungkin ia dan Rimba bisa sama-sama menjadi mahasiswa baru tahun ini.
“Aku yakin kamu pasti bisa dapat pilihan yang terbaik.”
Rimba kembali mengingat perbincangannya dengan Iris kala itu. Ia selalu percaya Iris pendengar yang baik, itu yang membuat ia tidak ragu untuk menceritakan banyak hal dengan Iris. Meskipun mereka sebenarnya lebih sering membicarakan topik yang tidak penting, namun hal itu lebih baik dibanding Rimba harus berbincang tentang masalah hidupnya dengan pedagang-pedangang di pasar—yang tidak akan pula mendengarkannya.
Setelah sarapan bersama Wisnu dan Dana, ia tak sengaja melihat Iris di depan toko optik miliknya. Perempuan itu sedang berdiri diatas tangga dengan tangan memegang sebuah kuas.
“Mau dibantuin ga Ris?”
Iris menoleh melihat Rimba yang datang menghampirinya, “Bantuin doa?”
“Doa aku langsung dikabul loh biasanya.”
“Mending bantuin langsung, belum beramal kan hari ini?” ujar Iris sambil menuruni tangga lipat dan segera memberikan sebuah kuas kepada Rimba.
“Aku udah sedekah kok hari ini, pake senyum,” ujar Rimba sambil menarik sudut bibirnya.
“Ini kuas disenyumin doang ga akan bisa ngecat sendiri.”
Rimba tidak kunjung mengambil kuas yang sudah diberikan oleh Iris
“Kamu beneran ga mau bantuin nih?”
“Plang toko optik kamu itu butuh sentuhan perempuan, kalau aku yang kerjain pasti jadi aneh.”
“Sentuhan aneh juga bagus kok.”
Rimba menggoreskan kuas setelah mencelupkannya ke dalam kaleng cat. Iris masih berdiri tidak jauh dari Rimba, mengarahkan lelaki itu agar melakukan tugasnya dengan benar.
“Jangan lama-lama Ris ngecatnya, nanti hujan,” teriak Windu dari lantai atas rumahnya.
"Ashiap Kek! Aku udah sewa tukang cat profesional.”
Rimba hanya tertawa mendengar julukan yang iris berikan untuknya sambil kembali fokus menggoreskan kuas.
“Mau demo kemana minggu ini?” tanya Iris.
“Udah pensiun.”
Lelaki yang sempat dikeluarkan dari kampusnya tu sudah meninggalkan rangkaian aksi demonstrasi yang dulu sering ia lakukan. Idealismenya perlahan dibungkam, membuatnya lebih memilih apatis terhadap hal yang bisa saja merugikannya. Namun kecintaan dan kepeduliannya terhadap lingkungan dan hutan tidak pernah surut. Kesibukannya kali ini mengunjungi pengolahan sampah di pasar, bekerja sama dengan pengelola lahan terbuka hijau untuk mendukung penelitiannya dan Rimba hanya mengikuti satu organisasi di kampus.
“Jangan terlalu sibuk organisasi, nanti lupa buat belajar,” Pertuah Iris terdengar seolah ia punya banyak pengalaman kegiatan organisasi, padahal tidak.
“Jangan terlalu sibuk jadi pengangguran, nanti lupa buat cari kuliah.”
“Aku ga merasa sibuk sebagai pengangguran.”
“Tapi pura-pura sibuk?”
Apa yang dikatakan Windu benar terjadi, hujan mengguyur saat Rimba masih belum selesai mengecat. Ia menggoreskan kuas dengan cepat, beharap dapat selesai sebelum hujan semakin lebat.
“Lanjutin aja deh, catnya juga waterproof kok.”
“Tapi waterproof juga kan harus nunggu kering dulu Ris.”
Dari sebrang rumahnya, tampak seorang gadis kecil yang memakai jas hujan kuning dan sepatu boot berwarna merah jambu. Ling Ling baru saja pulang sekolah, dijemput oleh ayahnya.
“Kak Riris jangan main hujan-hujanan, kata Mami ga boleh.”
“Hujan-hujanan seru tau, main air!”
Mendengar hal itu, Ling Ling berusaha membujuk ibunya, namun ia tetap tidak diperbolehkan. Gadis itu hanya dapat memandangi hujan dari balik kaca jendela rumahnya.
“Ambilin payung dong Ris.”
“Katanya suka menyatu dengan alam, tapi sama hujan aja takut basah.”
“Buat payungin plangnya Ris, dikit lagi selesai nih.”