Jika saja ia tidak merasa bersalah karena telah melempar lensa kamera milik Gema hingga rusak, mungkin Iris dapat mudah menolak tawaran Gema. Gadis itu mencoba untuk melakukan negosiasi dengan Gema, namun usahanya hanya berujung sia-sia.
“Asisten fotografer? Jadi model fotonya lah Gem.”
“Kalau kamu mau terlentang di Bantar Gebang, aku rekrut kamu jadi model profesional.”
Mendengar hal itu, Iris kembali teringat saat ia jatuh ke tumpukan sampah karena berusaha menyelamatkan Gema, namun lelaki itu malah menertawainya
“Kalau aku bantuin kamu, berarti aku ga harus ganti rugi lensa kan?”
“Deal!” jawab Gema tanpa ragu. Sejujurnya harga lensa kamera yang dirusak oleh Iris cukup mahal, namun tidak ada salahnya jika bersama gadis itu ia bisa mendapatkan banyak foto menarik di area pasar.
Keduanya masih berjalan mengitari pasar, menuju bagian selatan. Letak bangunan tersebut tak jauh dari stasiun kereta yang berdekatan langsung dengan pasar. Iris melihat sekeliling, berharap ia dapat bertemu dengan tiga teman kecilnya. Iya yakin mereka pasti mau menggantikan tugasnya untuk menemani Gema mencari spot foto yang menarik.
“Toko optik kamu udah berdiri sejak kapan?”
Gema sebenarnya ingin datang lagi ke toko optik tersebut, namun ia tidak sengaja berpapasan dengan Iris. Banyak hal yang ingin ia ketahui tentang gadis itu dan juga toko optik milik kakeknya. Ia ingin tahu apa yang menjadi alasan Papanya memberikan alamat yang mengarah pada toko optik itu.
“Udah lama, mungkin setengah dari usia Kakek.”
“Dari dulu yang jaga toko optiknya selalu Kakek?”
“Dulu Kakek itu dokter mata, di toko optik kalau libur aja, tapi setelah pensiun jadi setiap hari di toko optik.”
Iris tidak ingin menceritakan banyak hal tentangnya Kakeknya. Ia pun merasa tidak perlu memberi tahu Gema bahwa alasan Kakeknya pensiun karena kepergiaan orangtua Iris.
“Kamu foto-foto ini buat apa sih?”
“Buat tugas.”
“Harus banget di pasar?”
Gema mengangguk, berusaha terlihat meyakinkan. Ia berbohong, tidak ada spesifikasi tempat yang menjadi syarat dari tugas yang diberikan dosennya.
“Kalau foto-fotonya bagus, bisa jadi pameran foto dan promosiin pasar juga.”
“Emangnya pameran foto masih banyak pengunjungnya? Orang kan bisa lihat di instagram sambil tiduran, ga harus jalan jauh-jauh.”
Lelaki itu tertawa pelan, “Kalau aku yang buat pameran dijamin kok pengunjungnya banyak. Nanti aku kasih tiket gratis buat kamu.”
Rangkaian gerbong kereta melintas membuat para pejalan kaki dan pengendara harus menunggu untuk bisa berjalan kembali. Sebuah klakson terdengar nyaring, seorang pengendara motor meneriaki Iris yang menghalangi jalan. Perempuan itu ingin balas meneriakinya, namun Gema lebih dahulu menarik tangannya. Ia menggenggam tangan Iris untuk melewati kerumunan dan berhasil menyebrang setelah kereta lewat.
“Kemana lagi Ris?”
Pertanyaan Gema mengembalikan fokus Iris. Perempuan itu sedikit terkejut ketika Gema menggenggam tangannya.
“Oh ke kanan..,” jawab Iris sambil melepaskan genggaman tangan Gema dan menunjukan tangannya ke arah kanan.
“Masih jauh?”
“Itu udah keliatan gedungnya.”
Mereka menyusuri gang sempit yang terletak diantara dua ruko untuk sampai ke bangunan tersebut. Jalan setapak itu nampak gelap dan lembab, membuat Iris melangkah dengan hati-hati. Sudah lama ia tak menyusuri jalan tersebut. Seekor anjing liar berwarna hitam nampak telihat di ujung jalan dekat bangunan gedung yang akan mereka tuju.
Sebuah plang yang mulai berkarat dan bertulisakan milik pemerintah terlihat di depan gedung. Pagar seng mengelilingi gedung yang tidak terpakai itu. Iris sempat bingung mencari celah dintara pagar seng untuk bisa masuk. Terakhir kali ia mengunjungi tempat tersebut bersama Wisnu dan Dana, tidak ada pagar yang mengelilingi.
“Lewat sini Ris,” ujar Gema sambil mengikuti anjing liar yang lebih dahulu masuk.
Ia berjalan merunduk untuk bisa melewati celah pagar yang kecil dan pendek. Setelah Gema berhasil masuk, ia membuka pagar seng agar lebih lebar sehingga memudahkan Iris untuk melewatinya.
“ADUHH,” ia mengaduh sambil memegang kepalanya, suara teriakan Iris membuat anjing liar menyalak.
“Nunduk Ris,” ujarnya sambil memegang kepala gadis itu agar tidak lagi terkena bagian ujung seng.
Iris mematuhi perkataan Gema tanpa mengelak.
“Good girl!” ledek Gema sambil mengacak-ngacak poni Iris.
“Emangnya aku anjing?!”
Ucapan Iris dijawab sebuah lolongan suara anjing liar yang tadi ikut masuk bersama mereka, namun kini keberadaannya sudah tidak terlihat, hanya suaranya yang terdengar nyaring. Gema tersenyum mendengar itu dan melihat Iris nampak tak terima.
Mereka berjalan melewati rumput-rumput ilalang berukuran tinggi yang tumbuh lebat di halaman gedung. Gema berjalan di depan sambil menyibakan ilalang yang menghalangi jalannya. Terdapat tiga buah gerobak yang sudah tidak terpakai di sudut bagian depan gedung. Terdapat pula beberapa karung berisi botol plastik bekas yang sepertinya milik salah seorang pemulung.
“Sayang banget bangunannya jadi terbengkalai gini,” kata Gema sambil mengamati tembok-tembok gedung yang belum sempat dicat dan nampak lembab. Coretan-coretan terlihat di beberapa bagian.
“Kamu mau foto apa sih?” ujar Iris yang sedang duduk di tangga.
“Ke atas yuk!”
Iris menarik kakinya malas untuk menaiki anak tangga yang cukup tinggi, ia sudah cukup nyaman duduk di tangga.
“Kamu udah pernah kesini?”
Perempuan itu mengangguk.
“Mau ngapain?”
“Yang jelas bukan mau foto-foto kaya kamu.”
“Tapi buat main sama anak-anak jin?”
“Nanti mereka merasa terpanggil loh, kamu udah siap buat jadi ayah angkat mereka?”
“Pintu alam gaibnya sebelah mana?”
“Cuman orang yang hatinya bersih yang bisa lihat. Kalau ga percaya coba tanya sama yang di sebelah kamu,” ujar Iris seolah ia melihat sesuatu.
Gema menengok ke kanan dan kirinya, tapi tidak melihat siapapun.
“Bukannya dia sekarang ada di belakang kamu?” ucap Gema untuk balas menakut-nakuti Iris.
Iris segera berpindah tempat setelah mendengar apa yang Gema ucapkan, “APAAN SIH GEM?!”
“Ternyata kamu penakut juga.”