Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #15

Pixel 15

Tidak biasanya ia sibuk di dapur. Bukan untuk memasak sarapan, bukan pula sedang memegang sebuah sodet atau penggorengan, melainkan bor dan tang. Perempuan itu sedang memperbaiki pintu rak piring yang terlepas.

“Padahal biar sama Gema aja Ma,” ujar anak laki-lakinya yang terbangun mendengar suara bor yang cukup berisik.

“Nungguin kamu kerjain yang ada rak nya ga pernah beres sampai tahun depan.”

“Aku kirain Mama lagi masak pagi-pagi.”

Harum tahu betul Gema sering melewatkan sarapan, begitupun dengan kebiasaan suaminya dulu. Hal itu yang membuat ia sangat jarang memasak di pagi hari kecuali jika Bima meminta.

“Mama ga denger kamu buka pintu Gem pas malem,” ujarnya sambil secara tersirat menyindir Gema yang pulang larut malam saat ia sudah tertidur pulas.

“Aku pulang jam sepuluh kok Ma.”

“Jam sepuluh lewat 59?”

“Jam 10 Waktu Indonesia Timur,” jawabnya sambil berusaha membuat Mamanya tidak marah.

Harum dan Bima mendidik anaknya dengan cara yang berberda. Bukan karena mereka tidak satu frekuensi dalam menjadi orangtua, namun untuk menyeimbangi sikap santai dan sikap tegas diantara keduanya. Harum cukup ketat menerapkan jam malam pada anaknya, sedangkan Bima membebaskan jam pulang anaknya selama ia tahu kemana Gema pergi.

Ketika Gema baru genap sehari memilki KTP, ia pernah mencoba untuk pergi clubbing karena dipengaruhi ajakan teman-temannya. Dengan setia, Bima menunggu anaknya yang tak kunjung pulang. Sedangkan HArum tidak berhenti menelpon Gema yang tak kunjung mengangkat hingga ia pun lebih dulu tertidur.

Lelaki itu menunggu Gema sambil membaca koran di depan teras rumahnya. Gigitan nyamuk dan rasa kantuk coba ia lawan. Saat ia sedikit terlelap, BIma mendengar suara mobil yang mengantar anaknya pulang. Dengan bergegas ia menggopoh Gema dan membantunya berjalan menuju kamar.

Tidak ada omelan yang dilontarkan Bima kala itu. Hanya dua kata yang ia ucapkan, “Papa khawatir.”

Ia tidak menunjukan sedikitpun amarahnya melihat anaknya yang baru saja pulang dari clubbing. Melihat apa yang Papanya lakukan, pengalaman pergi ke klub malam menjadi yang pertama dan terakhir bagi Gema. Mungkin lain halnya jika malam itu Bima memarahi anaknya, Gema malah akan semakin penasaran untuk mngunjungi kelab malam.

***

Perempuan yang sedang merapikan bor, tang dan perkakas ke dalam kotak itu kembali mengingatkan Gema untuk pulang larut malam. Gema sudah terbiasa dengan sikap ibunya, mungkin suatu saat ia akan merindukan suara itu.

“Pulang malam aja bisa, masa anterin Mama ke supermarket ga bisa.”

“Aku ada kelas pagi ini Ma.”

“Katanya mau bantuin Mama?”

“Mau bantuin benerin rak dapur, tapi udah selesai kan Ma?”

Harum berhasil memaksa anaknya. Gema dengan berat hati harus berangkat lebih pagi untuk mengantar Mamanya belanja bahan makanan. Beruntung ia diperbolehkan menunggu di mobil, namun ia tetap ingin mememani Mamanya keliling mengitari rak-rak makanan sambil mendengar Harum mengomentari harga-harga bahan pokok yang mulai naik.

“Mama bisa pulang sendiri Gem, ga usah ditungguin. Nanti kamu telat, masa teaching assistant datang terlambat?”

“Kelasnya ga terlalu pagi ko Ma mulainya.”

Gema ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Setelah ayahnya pergi, Gema tahu ibunya lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Ia pun sulit mengatur waktu untuk menemaninya mamanya karena kesibukan kuliah. Beruntung ia bisa menemani mamanya pagi itu.

“Kalau belanja di pasar lebih segar ya Ma sayurnya?”

Gema teringat Iris. Ia ingin mengenal segala hal yang berhubungan denga perempuan itu, termasuk pasar. Jika saja hari itu ia tidak ada jadwal kuliah, Gema akan segera begegas ke pasar untuk menepati janjinya dengan Iris. Namun sepertinya perempuan itu sudah lupa dengan permintaan Gema. Ia harus kembali berusaha keras untuk membujuk Iris agar mau menemaninya lagi memotret.

“Nanti ke pasar yuk Ma belanjanya!”

“Anterin Mama ke supermarket aja banyak alasannya, tumben banget kamu mau ajak Mama ke pasar.”

***

Jika mahasiswa di jurusannya banyak ingin menjadi pengusaha kayu dengan omset tinggi, ataupun pejabat di bidang kehutanan dengan gaji yang besar dan tujangan hidup yang terjamin, lain halnya dengan Rimba. Keinginannya sederhana, ia ingin menjadi tukang kebun.

“Jangan kebanyakan ngomong sama pohon, nanti gila.”

“Mau bilang terimakasih udah kasih oksigen gratis,” ujarnya menanggapi Iris. Ia sedang mengamati diameter pohon yang cukup rindang dan tumbuh di tengah pasar.

Iris mendekatkan telinganya ke pohon tersebut, “Katanya sama-sama.”

Lihat selengkapnya