“Jangan! Jangan lakukan itu, dia bisa kehabisan nafas!” sergah Kaka. Plastik itu ditarik membuat wajah Aji melekat erat di plastiknya. Aji berusaha berontak dari ikatan kursinya tapi sia-sia ikatan itu terlalu kuat. “Tolong, tolong … bermain sama gue aja plis, gue mau main sama lo,” rayu Tia pada orang bertopeng badut yang menggoyang-goyang kepalanya senang melihat Aji tersiksa.
Plastik di wajah Aji semakin rapat, nafas Aji terlihat mengembang mengempis. Dion berdiri dari duduknya, berteriak marah lalu berjalan mondar mandir di kamarnya, kesal karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk bisa menolong sahabatnya itu. Aji semakin lemah.
“Ok! Ok! Gue main sama lo! Tapi lepasin plastik itu dulu dari wajah temen gue!” teriak Windy dengan wajah panik. Orang bertopeng badut itu bertepuk tangan senang. Plastik itu pun dilepas dari kepala Aji yang langsung terkulai lemas. “Aji … Aji! Bangun lo ga apa-apa ‘kan?” seru Tia cemas. Dion kembali duduk di hadapan komputernya menatap khawatir sahabatnya begitu pun Kaka. Aji mengangguk lemah.
Typing …
“Tebak-tebakan dimulai!”
Windy menelan ludahnya, jantungnya berdebar. Semua menunggu apa yang akan dituliskan orang bertopeng badut itu yang sedang mengetik.
Typing …
“Apa yang lebih tajam … pisau atau ibu jari?”
Windy mengerutkan keningnya. Kaka, Tia dan Dion pun merasa aneh dengan pertanyaannya. Setiap orang pasti tau lebih tajam mana. “Ini pasti pertanyaan jebakan,” tulis pesan WA Kaka pada Dion. “Gue curiga, mau bener atau salah, orang gila ini akan tetep membunuh Ji’a,” balas Dion pada Kaka. “Sepertinya mereka ada berdua Yon, si topeng badut sama si topeng Rahwana!” tulis WA Kaka lagi. “Betul! Mereka ga mungkin sendiri! Gue mau telepon polisi Ka,” balas WA Dion.
Mata di balik topeng badut menatap tajam Kaka dan Dion.
Typing …
“Tunjukkin tangan kalian berdua, sekarang!!”
Si topeng badut menunjuk pada Kaka dan Dion. “Kenapa?” tanya Kaka. Tiba-tiba kepala Aji dibekap plastik lagi membuat Aji gelagapan. “Ok! Ok!” cetus Kaka mengangkat kedua tangannya dan terdengar bunyi benda jatuh ke lantai. Dion masih sempat menyelipkan telepon genggamnya ke laci mejanya kemudian menunjukkan kedua tangannya ke layar. “Tuh, lihat gue ga megang apa-apa!” cetus Dion. Si topeng badut menunjuk Kaka.
Typing …
“Taro hape kamu di meja!”
Kaka melirik telepon genggamnya yang tergeletak di lantai.
Typing …
“Kamu tadi maen hape … cepat taro di meja! Atau …”
Plastik di kepala Aji ditarik erat lagi. Aji menggeleng-geleng meronta. “Ka! Cepet taro hape lo!” hardik Tia cemas melihat Aji. “Iya! Iya!” sahut Kaka segera mengambil telepon genggamnya dan meletakkan di atas mejanya sehingga terlihat di layar monitor. Si topeng badut itu manggut-manggut memberikan jempolnya kemudian memberi tanda gerakan pada Kaka untuk membuka telepon genggam itu lalu mengeluarkan SIM Card-nya.
Kaka mengikuti perintah tersebut dengan tergesa dan gemetar karena melihat Aji yang makin lemah. “Nih udah gue keluarin kartu SIM-nya trus apa?!” teriak Kaka kesal. Si topeng badut memeragakan gerakan mematahkan kartu. “Ga, ga,” tolak Kaka geleng-geleng, tapi plastik di wajah Aji ditarik, Kaka menjadi panik. “Ok! Ok nih … nih gue patahin!” seru Kaka mematahkan kartu SIM-nya. “Bangsat lo!” umpatnya setelah kartu SIM itu patah menjadi dua.
Si topeng badut berjoget-joget senang kemudian menunjuk Windy.