Prahara di Istanbul

Dizzman
Chapter #2

Pesona Negeri Lorong Waktu

Bertualang ke tempat-tempat baru adalah hobiku dari kecil. Sejak SD aku sudah pergi sendiri ke kampung halaman diantar supir travel yang dititipi orang tuaku. Waktu SMP aku jalan-jalan sendiri keliling Jakarta, dari Blok M hingga Pasar Ular naik bis umum lewat Pasar Senen. Zaman itu mungkin belum terlalu rawan namun tetap saja bikin was-was orang tua.

Namun aku termasuk terlambat pergi ke luar negeri, tepatnya di usia 40-an tahun. Padahal waktu kuliah S2 dulu sempat ada studi banding ke Malaysia dan Singapura, tapi aku tak ikut karena sedang musim penyakit SARS saat itu. Aku sempat bertekad di depan istriku suatu saat akan ke luar negeri dengan uang sendiri, dan akhrinya kesampaian juga sepuluh tahun kemudian dengan Singapura sebagai negara pertama yang menaruh cap di pasporku.

Selanjutnya berturut-turut Malaysia, Thailand, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, dan terakhir Filipina. Puas menjelajahi seluruh negara ASEAN, sudah saatnya aku harus pergi agak jauh. Namun kendala visa membuatku harus memilih negara yang mudah pengurusannya. Beberapa negara di luar ASEAN yang memberikan free visa, e-visa dan visa on arrival masuk dalam bucket list travelling-ku, antara lain Sri Lanka, Maldives, Nepal, Maroko, Turki, Armenia, dan Georgia.

Sri Lanka dan Maldives kujadwalkan bulan Mei karena aku dapat tiket murah dan jaraknya tidak terlalu jauh dari tanah air. Nepal walau punya ikon gunung Everest namun tiketnya masih mahal dan aku juga tidak terlalu tertarik naik gunung. Maroko harus transit di Perancis dan harga tiketnya juga mahal. Sementara Armenia dan Georgia terlalu kecil untuk dikunjungi dan tidak sebanding dengan harga tiket pesawat yang sangat mahal karena harus transit beberapa kali.

Setelah pergi ke Sri Lanka dan Maldives, pilihanku akhirnya jatuh ke Turki yang harga tiketnya cukup murah untuk ukuran terbang ke Eropa. Pengurusan visanya juga gampang melalui aplikasi e-visa. Aku cukup masuk ke websitenya, daftar dengan memasukkan data-data yang diperlukan, terakhir membayar biaya visa untuk single entry 25 USD. Tak sampai lima menit visapun keluar dan dikirim lewat email.

Selain e-visa, kita juga bisa mengurusnya saat kedatangan alias visa on arrival, atau mengurus langsung ke kedutaan terutama untuk visa yang multiple entry atau visa kuliah/kerja. Turki ternyata menjadi salah satu tujuan wisata favorit turis Indonesia, karena biasanya digabung paket wisatanya dengan umroh dan perginyapun berombongan, jarang yang backpacker-an sendirian seperti aku ini.

Aku semakin tertarik mengunjungi Turki karena ternyata banyak tempat wisata terutama yang berbau sejarah dan peradaban masa lalu. Berkunjung ke negeri ini ibarat menelusuri lorong waktu, mulai dari era zaman Flinstone alias purbakala, era Yunani kuno, era kekaisaran Romawi, era Kekhalifahan Ottoman, hingga era modern sekuler yang dibangun oleh Mustafa Kamal Attaturk.

Posisi Turki memang sangat strategis terletak di antara dua benua Eropa dan Asia menjadikannya sebagai jalur lintas perdagangan antar benua melalui jalan darat alias jalur sutra. Posisi strategis inilah yang membuat Turki menjadi gadis cantik yang diperebutkan berbagai bangsa, mulai dari bangsa Yunani, Persia, Romawi, Arab, hingga Mongol. Selat Bosphorus sendiri merupakan jalur laut yang sibuk menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Mediterania.

Mulai dari Alexander the Great, Bizantium, Persia, Seljuk, hingga Ottoman pernah berkuasa di tanah Turki. Turki sendiri mencapai zaman keemasannya kala dinasti Ottoman yang berkuasa sejak abad ke-14 Masehi hingga awal abad ke-20. Kejayaan Turki Ottoman dimulai kala Sultan Muhammad II Al Fatih berhasil merebut Konstantinopel sekaligus meruntuhkan Kekaisaran Romawi terakhir atau disebut Bizantium.

Kekuasaan Turki Ottoman semakin meluas dan mencapai kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang berhasil menguasai daratan Eropa Timur hingga ke pintu gerbang Wina, Austria. Namun sejak Sultan Sulaiman wafat, kejayaan Turki Ottoman mulai menurun ditekan oleh negeri-negeri sekitarnya seperti Austro-Hongaria, Rusia, serta Inggris dan Perancis yang menggerogoti jajahannya di Afrika dan Arab.

Turki Ottoman yang bergabung dengan Jerman, Austro-Hongaria, dan Italia dalam perang dunia pertama harus mengakui kekalahan dari sekutu yang terdiri dari Inggris, Perancis, dan Rusia. Kekalahan ini berbuntut panjang hingga Mustafa Kemal sang pahlawan Gallipoli melakukan perlawanan dan berhasil merebut kekuasaan dari Sultan terakhir Mehmet VI tahun 1922. Sejak saat itu Turki berubah menjadi republik hingga sekarang.

Jejak-jejak mereka yang pernah menduduki tanah Turki tampak jelas dari bangunan-bangunan tua yang masih terpelihara dengan baik dan menjadi obyek wisata. Kekayaan sejarah inilah yang menjadi nilai jual Turki bagi wisatawan mancanegara dibanding negeri-negeri lainnya. Lokasinya tersebar dari ujung barat yang berbatasan dengan Yunani dan Bulgaria hingga ke ujung timur batas Georgia, Armenia, Iran, Irak, dan Suriah.

Banyaknya pilihan tempat wisata membuat kepala pusing tujuh keliling mengingat waktu kunjungan yang terbatas. Kebetulan aku cuma dapat jatah cuti lima hari kerja ditambah libur setelah lebaran, jadi total hanya 10 hari termasuk perjalanan. Itupun setelah bernegosiasi dengan pak bos yang sebenarnya ragu memberikan izin cuti karena sudah ada aturan cuti bersama. Tapi dengan alasan sudah membeli tiket PP, akhirnya beliau meneken juga surat cutiku.

Setelah surat cuti keluar akupun langsung berburu tiket lewat aplikasi daring skyscanner.com dan beberapa aplikasi travel lainnya. Awalnya kucari tiket Jakarta - Istanbul PP, namun kalau direct harganya masih di atas 12 jutaan Rupiah. Wajar juga sih karena aku pergi tiga hari setelah lebaran dimana banyak orang juga berlibur musim panas atau umroh sekalian berlebaran di Mekah dan mampir ke Turki.

Sementara itu pesawat yang transit di Timur Tengah seperti Dubai, Abu Dhabi, atau Doha juga harganya masih di atas 11 jutaan Rupiah. Akhirnya rute penerbangan dibagi dua, dari Jakarta atau Bandung ke Kuala Lumpur, baru dari Kuala Lumpur ke Istanbul. Wow, ternyata dari Kuala Lumpur ke Istanbul harganya jauh lebih murah, bahkan ada yang dibawah 8 jutaan Rupiah.

Lihat selengkapnya