Sebenarnya perasaan ini mulai tidak enak menjelang aku berangkat ke Turki dua hari setelah lebaran. Pertama karena masih suasana hari raya sehingga lebih elok kalau berkumpul bersama keluarga. Memang sih kurang etis rasanya saat semua keluarga berkumpul di hari raya, aku malah justru meninggalkan keluarga pergi sendirian berpetualang ke negeri orang.
Aku bukannya tidak ingin mengajak keluarga, tapi memang anggaran terbatas dan momen berliburnya susah diperoleh lagi kalau ditunda. Jatah cuti setahun cuma 12 hari dan tak mungkin semuanya dipakai untuk liburan. Jadi harus diakali dengan menggabungkan cuti pribadi dan cuti bersama agar jumlah harinya semakin panjang. Jalan tengahnya, liburan dengan keluarga dilaksankan pada libur akhir tahun sebagai pengganti libur lebaran.
Aku juga sebenarnya lebih nyaman pergi sendiri karena lebih terasa petualangannya daripada dengan keluarga. Kalau dengan keluarga lebih banyak unsur bersenang-senang daripada bertualang karena harus menyenangkan seluruh anggota keluarga. Sementara filosofi bertualang itu justru mencari tantangan baru di perjalanan, dengan segala resiko dan konsekuensinya yang belum tentu mampu ditanggung anggota keluarga lainnya.
Sebagian orang memandang aneh dengan tingkahku yang suka berlibur sendiri ke luar negeri, padahal sudah berkeluarga. Jujur saja biaya perjalanan ke luar negeri memang mahal dan butuh persiapan matang untuk membawa seluruh keluarga jalan-jalan agar tidak rugi waktu dan uang. Selain itu bila perginya jauh sekalian cari waktu yang panjang minimal sebulan agar tidak rugi tiket pulang perginya.
Toh liburan akhir tahun lalu kami sekeluarga sudah keliling semenanjung ASEAN selama 10 hari, jadi sudah cukuplah acara jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga untuk sementara waktu. Mungkin suatu saat nanti aku akan membawa keluarga ke tempat yang jauh dari tanah air setelah semuanya sudah dewasa dan bisa mengatur diri masing-masing.
Hal kedua yang membuat galau adalah situasi politik dan keamanan di negeri Turki yang tidak stabil. Di dalam negeri Turki sendiri kepemimpinan Erdogan kerap digoyang isu pergantian kekuasaan karena adanya ketidakpuasan kaum oposisi terhadap pemerintahannya. Sejak Turki berubah menjadi republik tahun 1922, telah terjadi beberapa kali upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Kudeta pertama terjadi tahun 1960 ketika Perdana Menteri Adnan Menderes berusaha mengembalikan syariat Islam di Turki dan ditentang oleh sebagian besar masyarakat dan militer yang masih menganut paham sekuler. Kudeta yang dilakukan militer Turki mengangkat Jenderal Cemel Gursel menggantikan Menderes. Setahun kemudian Menderes dihukum mati atas tuduhan pelanggaran HAM.
Kudeta berikutnya terjadi tahun 1971 karena resesi ekonomi membuat rakyat Turki marah besar. PM Sulaeman Demirel dinilai gagal mengatasi resesi dan dipaksa mundur oleh sebuah memorandum yang dilayangkan militer Turki yang dipimpin Jenderal Kenan Evren. Demirel akhirnya digantikan oleh Nihat Erim dari Partai Republikan.
Tak sampai sembilan tahun, tepatnya tahun 1980 terjadi lagi kudeta militer yang lagi-lagi dipimpin oleh Jenderal Kenan Evren. Militer muak melihat pertikaian politik yang tak kunjung usai antara kaum sayap kanan dengan komunis kiri memperebutkan kursi kekuasaan. Dalam kurun waktu 9 tahun terjadi 10 kali pergantian pemerintahan membuat suasana negeri tidak kondusif. Akhirnya Jenderal Evren mengangkat dirinya sendiri menjadi presiden Turki dengan Bulent Ulusu sebagai PM.
Setelah lama tampak aman damai di bawah kepemimpinan Evren, Turki kembali dipimpin oleh sipil tahun 1989. Namun delapan tahun kemudian terjadi lagi kudeta tak berdarah setelah militer Turki merasa tidak nyaman karena PM Erbakan tidak kunjung membentuk koalisi serta dianggap meninggalkan tradisi sekuler warisan Attaturk. Anehnya kudeta ini tidak mengerahkan tentara seperti lazimnya, cukup hanya dengan memberikan 'saran' yang membuat Erbakan akhirnya mengundurkan diri.
Di samping itu isu pemisahan wilayah oleh suku Kurdi di timur laut yang merasa bukan bagian dari bangsa Turki juga turut merongrong kedaulatan wilayah Turki. Suku Kurdi yang tinggal terpecah di perbatasan Turki, Irak, Iran, dan Suriah merasa sebagai etnis yang berbeda dengan warga negara di keempat negara tersebut sehingga ingin membangun negeri sendiri yang merdeka dan berdaulat.
Namun keinginan tersebut sirna karena tidak diakui oleh dunia internasional sehingga mereka membuat pergerakan keras seperti melakukan pemboman bunuh diri untuk membuka mata dunia. Tidak hanya di Turki saja, mereka juga beraksi di negara-negara yang dianggap sebagai wilayah Kurdistan seperti disebutkan di atas.
Hubungan luar negeri Turki juga kurang harmonis dengan negeri tetangganya. Keberadaan ISIS di Suriah dan Irak yang terletak di sebelah selatan cukup mengganggu kedaulatan wilayah Turki. Banyak kombatan ISIS yang masuk ke Suriah dan Irak melalui Turki sehingga memaksa Turki menutup perbatasan dengan dua negara tersebut. Keberadaan ISIS juga sering mengganggu keamanan di Turki dengan serangkaian bom bunuh diri di beberapa kota utama seperti Istanbul dan Ankara.
Sejak bulan Januari hingga Juni tahun 2016 sebelum aku berangkat paling tidak sudah terjadi enam kali pemboman bunuh diri baik dilakukan oleh separatis etnis Kurdistan maupun para pendukung ISIS. Walau dari sisi wisata Turki adalah tempat yang mengasyikkan, namun dari sisi keamanan saat itu situasinya cukup mengkhawatirkan. Tidak ada jaminan keamanan bagi wisatawan untuk berkunjung ke Turki
Pemboman pertama di tahun 2016 terjadi tanggal 12 Januari di jantung wisata kota Istanbul tepatnya di daerah Sultanahmet dekat dengan Blue Mosque. Pelakunya diduga berasal dari Suriah yang terafiliasi dengan kelompok ISIS. Korban tewas berjumlah sekitar 10 orang sebagian besar adalah wisatawan dari Jerman yang sedang menikmati perjalanan di area bersejarah tersebut.
Berikutnya terjadi lagi ledakan bom mobil sebulan kemudian tepatnya tanggal 17 Februari di ibukota negara Ankara dengan sasaran iring-iringan kendaraan militer yang sedang berhenti di lampu merah dekat Lapangan Kizilay. Sedikitnya terdapat 28 orang tewas dan 60 orang luka-luka akibat serangan tersebut. Diduga pelakunya adalah kelompok separatis Kurdistan Freedom Hawk (TAK).
Tanggal 13 Maret sebuah bom mobil meledak di Attaturk Boulevard dimana banyak terdapat korban sipil dengan jumlah 37 orang tewas dan 125 orang luka-luka. Pelakunya seorang mahasiswa yang memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dengan sasaran masyarakat sipil yang memang sedang berkumpul di halte bis dekat lokasi pemboman.
Seminggu kemudian tepatnya tanggal 19 Maret 2016 terjadi lagi bom bunuh diri di depan kantor gubernur di daerah Beyoglu dekat dengan Taksim, Istanbul. Sedikitnya ada lima orang korban tewas dan 36 orang terluka. Lagi-lagi pelakunya diduga berasal dari kelompok ISIL yang terafiliasi dengan ISIS di Suriah dan Irak.
Beberapa bulan tenang, awal Juni tepatnya tanggal 7 terjadi lagi bom bunuh diri di pusat kota Istanbul tepatnya di Vezneciler dengan sasaran bis yang membawa rombongan polisi. Jumlah korban 11 orang tewas dan 36 luka-luka. Pelakunya diduga terafiliasi dengan Kurdistan Freedom Hawk (TAK) atau ISIS, namun sampai sekarang tidak jelas bukti-buktinya.
Terakhir tanggal 28 Juni 2016 atau sekitar dua minggu sebelum keberangkatan, bandara Attaturk di Istanbul diserang bom bunuh diri tepatnya di pintu kedatangan internasional terminal 2. Ketiga penyerang bersama dengan 45 orang lainnya menjadi korban tewas, sementara sekitar 230 orang terluka. Serangan ini merupakan upaya bom bunuh diri terbesar sepanjang tahun 2016 tersebut.