Pohon-pohon meranggas, meluruhkan ranting dan daun pada bulan Agustus yang kering. Hampir dua jam aku menyapu pekarangan, mengumpulkan dedaunan dan memasukkan ke tong besi untuk dijadikan pupuk di kemudian hari. Lelah dan haus mendera. Angin berembus mengantarkan partikel debu. Matahari sedang garang-garangnya. Peluh terus membanjiri kening dan punggung badan.
“Mikha!” Aku terkesiap, menyeka keringat dengan lengan. Alan berseru sambil melambaikan tangan. Dia memarkir motor tepat di pekarangan, dalam sekelebatan mata sudah tiba menghampiri. “Kita ke Rantau, yuk!”
“Ngapain?” Aku mendesis perlahan, kurang kerjaan, tidak ada semangat saat membayangkan harus melewati jalan berdebu, belum lagi area pertambangan. Keadaan diperparah apabila ada asap. Beberapa tempat bahkan serupa gurun. Gurun Kalimantan.
“Lihat Festival Dandang.”
Hm, aku tertegun sejenak. Bukankah acara itu yang sering kami nantikan? Menyaksikan layangan besar menari-nari di angkasa. Dan cuci mata tentunya.
“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.”
***
Rasa nyeri pada tulang ekor akibat menempuh satu jam perjalanan seakan terbayarkan. Ramai pengunjung berkumpul di tanah lapang bekas persawahan. Beraneka ragam layangan mewarnai langit. Ekornya sangat panjang, meliuk-liuk mengikuti arah angin.
Dengungan dandang terdengar seperti auman gergasi. Di bagian atas layangan terdapat kukumbangan, terbuat dari ruas bambu besar berjenis batung. Diameter bisa mencapai dua belas senti dengan panjang kurang dari satu meter. Dari benda itulah suara dengung berkumandang. Semakin panjang kumbangan, semakin nyaring pula suara yang dikeluarkan. Apabila beruntung kukumbangan diwariskan kakek moyang mereka. Bagaimanapun festival ini telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum kami dilahirkan ke dunia.
Alan menggeretku ke tepi lapangan. Dari bawah pohon kelapa ini, kulihat dia—Edwin—bersama para lelaki berpakaian safari, bersisian dengan mobil hitam berukuran besar. Aku berusaha mengalihkan pandangan dari sosoknya dengan berpura-pura menganggapnya tiada. Namun, otakku sulit sekali diajak kerjasama. Mataku enggan berpaling, bagaimana bisa? Dia sosok paling bersinar di antara orang-orang berkulit legam. Sumpah mati, dia pun melihatku.
“Alan, lihatlah di sana!” Kutarik ujung baju Alan, menunjuk ke arah seseorang bercelana jin, berkaos putih bersih—bergambar bendera Amerika dan Patung Liberty.
Alan menoleh. “Yang mana?”
Aku kembali menunjuk perlahan tapi penuh semangat. Persis seperti anak kecil baru saja menemukan Paman penjual es krem di tengah cuaca terik. Dia kian dekat. Hanya seperlemparan batu lagi.
Alan tersenyum lebar. “Hai, Kawan. Kau di sini juga?” Mereka berangkulan, layaknya sahabat karib. Mata itu, terus saja menghunjam, membuatku salah tingkah.
“Kau sendirian?” Alan bertanya lagi. Aku menggigit bibir.
“Sama Paman, tapi beliau lagi ada urusan,” jawab Edwin, sejurus kemudian mengedarkan pandangan ke arahku. “Hai Mikaela,” sapanya mengulurkan tangan.
“Hai,” balasku menerima jabatan tangan Edwin dengan hangat, sementara jemariku mulai berkeringat. Kucoba mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Senang melihatmu di sini.” Dia masih menggenggam jemariku. Aku menunduk, khawatir ada sesuatu yang melompat. Bahkan detak jantungku terdengar begitu nyaring di antara keriuhan pengunjung. Tatapannya membuatku mati gaya.
“Aku mau cari minuman dulu. Tolong jaga Mikha, Edwin.” Alan mengerlingkan sebelah matanya, mengulum senyum meledek saat melihatku salah tingkah. Dia sangat pengertian. Bocah berambut jagung itu seakan-akan sengaja membiarkan kami berdua. Terbesit harapan Alan mencari minuman sampai ke Kota Barabai sana, menikmati kue apam berlapis ratusan daun pisang itu. Lalu lupa jalan pulang. Aku tentu akan berterima kasih sekali akan hal itu.