Beberapa hari yang lalu
SMA Negeri 1 Rantau
“Kau yakin akan mengambil keputusan ini, Mikha?” ucap Bu Diah—guru Bimbingan Konseling—seperti ingin memastikan. Beliau menatapku dengan saksama. Beberapa berkas telah siap di bawah telapak tangannya, termasuk buku rapor berwarna abu-abu bersampul plastik transparan.
“Iya, Bu. Bukankah ini satu-satunya kesempatan agar naik ke kelas tiga?”
Yeah, tifus membuatku absen terlalu lama. Tepat saat jadwal ulangan, remedi pun terlewat. Jangankan untuk berpikir, turun dari ranjang saja badanku kepayahan. Akibatnya kolom nilai menjadi kosong. Kata wali kelas aku harus memilih, tetap tinggal di kelas dua atau pindah ke sekolah khusus di sebuah pelosok—demi naik ke kelas tiga. SMA Purnama. Bu Guru menyebutnya sekolah ‘istimewa’ untuk anak-anak spesial. Teman-teman bilang sekolah buangan.
***
Kutatap kembali gedung sekolah sebagai salam perpisahan. Rasanya terkilan, setelah tadi berurai air mata berpamitan dengan dewan guru dan kawan-kawan. Kelak, aku akan merindukan tempat ini. Merindukan gelak tawa teman-teman berebut keluar kelas saat jam istirahat. Menyerbu kantin lalu sibuk merendam Indomie goreng. Atau aroma pisang goreng dari tungku Nini di pojokan sana.
“Mikha!” Ketika aku beranjak dari parkiran sambil menggeret sepeda mini Phoenix, Mahesa berseru. Dia berlari kecil menggapaiku. “Kamu tidak harus pindah.” Laki-laki berwajah sendu, berkulit legam dengan rahang kotak dan bulu mata lentik itu berusaha mengatur napas.
“Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Aku serius!” sambungnya. Roman wajahnya terlihat sembap. Ya, Tuhan! Apa dia akan menangis?
“Ini bukan karena kamu, Sa. Sekolah ini terlalu jauh, aku juga tidak boleh terlalu lelah, nanti sakit lagi lo,” balasku.
Mahesa adalah adik kelas paling berani menyatakan suka kepada kakak angkatannya. Sebenarnya dia cukup menarik dan baik. Namun, aku hanya mengganggapnya sebagai teman. Suatu ketika pernah mengutarakan perasaannya. di bawah pohon kersen tidak jauh dari jendela kelas. Seketika air matanya berurai saat aku memilih hanya menjadikannya teman. Dari balik jendela-jendela kaca, teman-temannya mengintip. Malu sekali.
“Tapi sekolahmu nanti—”
“Kenapa? Sekolah anak-anak nakal, ya?” potongku, tahu apa yang akan dikatakan Mahesa.
Mahesa menggumam. “Ehm, aku dengar seperti itu.”
“Tenang!” Kuraih jemarinya pelahan. “Aku tidak akan berubah menjadi harimau kemudian menggigitmu.” Kami tertawa bersamaan.