Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #4

Misteri Kematian Randu

Acap kali kami memberi nama PLN sebagai Perusahaan Lilin Negara. Terlalu sering mereka mematikan aliran, untuk pemeliharaan atau alasan tidak pernah kami ketahui. Seperti hari ini, sejak petang lampu tak menyala. Tercium aroma pembakaran tatakan telur, menelusup dari celah-celah pintu dan jendela. Itu pasti warga sedang bercengkrama di pelataran. Mengusir nyamuk, juga kebosanan. Gurauan terdengar riuh apabila obrolan berpindah ke arah hubungan orang dewasa. Tatkala penat menyapa, mereka memilih menutup pintu dan memejamkan mata lebih awal.

Kukibas-kibaskan kipas yang terbuat dari ayaman purun. Lelah menyergap, rasa kantuk perlahan datang. Samar-samar, terdengar keriuhan di luar rumah. Semakin lama kian menggema. Terdengar teriakan dan orang memukul-mukul tiang listrik. Arloji menunjukkan pukul 22.05 WITA. Aku beringsut ke depan, memastikan keadaan. Astaga, kobaran api membumbung di atas bukit.

Julag[1], di mana kebakarannya?” Kucoba menghentikan Julag Mahdi yang berlari sambil menenteng seember air. Napasnya tersengal-sengal. Air berceceran dimana-mana. Usia menjelang sepuh membuatnya tak bisa berlari lebih kencang.

“Pabrik Pak Hidayat. Apinya ganal banar. Baik pian di rumah haja!”[2] Julag Mahdi seakan menerawang kegundahanku.

Mana Bisa! Rasa kantuk lenyap. Bayangan rumah Siti yang berdekatan dengan pabrik tersebut membuatku memutuskan untuk turut serta.

Bauntung batuah,[3] hendak kamana kamu?” Ni Imah keluar kamar tertatih-tatih sambil mengusap-usap mata dan membetulkan sarungnya.

“Hendak melihat rumah Siti, Ni. Mungkin dia butuh bantuan,” aku berkata, lantas berlari ke pekarangan. Ni Imah bersuara lantang mencegah, tetapi tak kuindahkan.

Beberapa orang berhamburan menuju lokasi kebakaran. Ada yang masih menggunakan sarung, bersepeda dengan terburu-buru, bahkan mengendarai motor. Dalam setiap musibah kebakaran banyak orang berlarian mendekati lokasi. Tujuannya ada tiga. Pertama agar bisa menolong, kedua hanya menonton, ketiga untuk menjarah jika pemiliknya lengah.

Kulangkahkan kaki lebih cepat menapaki jalanan, sesaat kemudian sebuah sepeda motor menelikung tepat di depan. “Ayo, naik, Mi!” Alan berseru. Kami berboncengan. Alan melaju dengan kecepatan penuh. Tubuhku terhuyung ketika melewati area bergelombang. Sesekali motor oleng dan hampir terjungkal.

Hilir mudik warga bahu-membahu memadamkan si jago merah dengan peralatan seadanya. Kobaran api pada bangunan pabrik Pak Hidayat terlalu sulit dipadamkan. Ia juga melahap rumah Siti dan sebuah pondokan kecil beratapkan rumbia yang bersisian dengan pabrik.

Lokasi sumber air cukup jauh. Sumur-sumur penduduk mengering. Untuk keperluan dapur saja, kami sering mengandalkan kiriman air dari luar wilayah. Terdengar sirine mobil pemadam kebakaran. Meraung memecah pekatnya malam. Mereka berdatangan dari beberapa penjuru; Binuang, Rantau, dan Kandangan. Aku berlari mencari keberadaan Siti dan keluarganya di antara keramaian.

***

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam pendengar setia Radio Swara Nirwana seratus satu koma empat FM. Masih bersama saya Ridha di acara kesayangan kita Senandung Malam. Selama enam puluh menit ke depan dengan lagu pilihan dari Sahabat Nirwana semua”

“Halo.”

“Iya, halo. Dengan siapa di mana?”

“Rustam di Pem-bangunan.”

Suara Rustam memang lambat-lambat. Akan tetapi, kecepatannya dalam memencet digit melalui telepon umum berbayar seharga 100 rupiah per lima menit tidak perlu diragukan lagi.

“Silakan, Rustam. Mau kirim salam untuk siapa?”

“Tititip sasalam buat A–Alan, A–Amel, Ar–syad , Ed–edwin, dan Mikha.” Terdengar embusan napas berat.

“Salam buat siapa lagi, Rustam?”

Lihat selengkapnya