Tangis pecah saat Ibu Herlina—ibu kandung Randu—mendapati anak semata wayangnya telah pergi untuk selamanya. Terdapat luka sayatan sebesar telapak tangan orang dewasa di dada kiri Randu. Darahnya telah membeku, tapi seonggok daging masih tampak jelas.Terlihat pula bekas jeratan pada leher. Pipi penuh lebam biru dan matanya sedikit terbuka. Kaos Randu bercampur dengan lumpur. Jika kuperhatikan, Randu masih menggunakan pakaian yang sama saat dua malam lalu kami bertemu.
Beberapa wanita berusaha menenangkan Ibu Herlina yang memeluk erat tubuh Randu. Jemarinya terus meremas helaian rambut hitam Randu yang basah. Beliau terus meraung memanggil sang buah hati. “Randu … Randu! Bangun, Le! Ini Makmu. Jangan pergi! Jangan tinggalkan Mak, Randu …!”
Hanya hitungan menit, Bapak Sugiono—Ayah Randu—membelah kerumunan. Wajahnya begitu letih, sepertinya baru pulang dari kebun. Tangannya bergetar hebat. Perlahan, kedua lututnya ambruk tepat di sisi tubuh anaknya.
“Kenopo ini, Mak’e? Randu, keno opo? Le … bangun, Le!” Air mata membanjiri pipi Pak Sugi yang mulai keriput. Disekanya berkali-kali dengan ujung baju. Pak Sugi bersimpuh di samping jenazah. Tangannya mengelus-elus kaki Randu, berusaha membersihkan sisa tanah yang masih menempel.
Kami yang menyaksikan ikut menangis. Randu terkenal ramah. Ketua Karang Taruna dan peduli terhadap lingkungan. Bahkan dia rela menguras tabungannya demi membantu para pekerja kebun yang kesusahan. Sepak terjangnya sebagai aktivis lingkungan tak diragukan. Hal itu membuatnya sering berhadapan dengan anggota kepolisian juga perusahaan pertambangan.
Kutarik Alan menepi dari keramaian. “Apa yang terjadi?” bisikku perlahan.
“Kami temukan dia di galian lubang batu bara daerah Sanggrahan.” Alan bersedekap, matanya berkilat.
“Apa dia berkelahi?”
“Entahlah, Mi. Tidak ada saksi mata di sana.”
“Bukankah tempat itu telah lama ditutup?”
“Benar. Pak Soleh yang pertama kali melihat ketika berniat mengambil air di sana.”
Ketika air dari PDAM tak menyala, dengan jeriken besar, penduduk terbiasa mengambil air gubangan bekas galian batu bara yang telah ditinggalkan para penambang. Air itu digunakan untuk keperluan mandi atau mencuci.
“Kauingat? Randu adalah orang pertama menentang keras penjualan lahan karet miliknya,” desis Alan.
“Maksudmu? Ini ada hubungannya dengan perusahaan Pak Jamal?”
“Kami akan selidiki, Mi.”
“Kalian harus segera bertindak, sebelum jatuh korban baru!”
***
Semenjak kematian Randu, kampung kami ditabiri kecemasan. Polisi sempat melakukan penyelidikan untuk meredam emosi warga. Anehnya, tidak ada kabar lagi dari pihak berwajib. Kasusnya seakan menguap. Meninggalkan tanda tanya besar, siapa otak dibalik pembunuhan Randu.
Ni Imah memintaku mengantar makanan ke kediaman keluarga Randu. Rumah mereka terlihat sepi. Daun pintu tertutup rapat. Kuketuk berulang-ulang, masih tidak ada jawaban.
“Bu’de Lina!”
Hening, kemana mereka?
“Bu’de Lina!” Kucuba menengok area belakang rumah. Terlihat wanita setengah baya sedang termenung di depan baskom besar berisi tumpukan cucian. Pandangannya kosong.
“Eh, Cah Ayu.” Cepat-cepat Ibu Lina mengusap pipi dengan punggung tangan.
“Ini ada titipan dari Ni Imah, Bu’de. Saya taruh di dapur, ya?” Aku melangkah menuju pawon dan meletakkan rantang di atas meja kayu.
“Matur nuwun sanget, Nduk. Jadi ngerepotin.” Ibu Lina tersenyum getir.
“Sami-sami, Bu’de. Kebetulan tadi Ni Imah masak banyak
Ibu Lina kembali mencuci, sesekali terdiam kemudian mencuci lagi. Aku duduk berjongkok di sebelahnya.
“Saya bantu, ya Bu’de?”
“Ndak usah, Nduk. Cuma cucian orang berdua gini—” Ibu Lina terdiam. Suaranya mulai tersangkut-sangkut. Matanya kembali dibalut oleh tangis. Kurengkuh jemarinya erat.
“Sabar ya, Bu’de.”
Bukannya terdiam, isaknya semakin jadi. “Randu itu ngeyel, Nduk. Orang kecil macam kita ini bisa makan tiga kali sehari saja sudah sukur, ndak usah ikut-ikutan ngurusin orang besar. Jadinya malah kaya gini.” Ibu Lina mengucek cuciannya semakin kencang dan tidak beraturan.