Air menelusup ke pernapasan, mencekik tanpa ampun, lalu memenuhi mulut hingga tenggorokan. Tubuhku kehilangan kekuatan. Kaku seperti bongkahan kayu. Air dingin yang menyelimuti tubuh seketika menjadi gumpalan es. Cahaya meredup, pekat, dan hitam. Tiba-tiba semesta berubah. Ibu, aku melihat ibu. Ibu, kau kah itu? Sosok itu tersenyum lembut. Ibu …! Aku ingin berteriak, tapi terkunci. Ibu menjauh, melesat seperti selendang yang di tarik menuju kegelapan. Sebelum kesadaran sepenuhnya hilang, kurasakan gelenyar hangat menyapu bibir. “Bernapaslah, Mikaela! Aku mohon, Mikaela!” Samar dan mengusik gendang telinga. Dalam sekejap, genangan air di kerongkongan menyembur ke permukaan. Kedua kelopak mataku terbuka. Dia menatap cemas.
“Syukurlah, Mikha. Kami sungguh tidak tahu kalau kau tidak bisa berenang. Maafkan kami.” Amelia membetulkan sebagian riap rambutku yang menutupi wajah. Tubuhku bergetar hebat. Jemariku beku. Bibirku terus bergemeletuk menahan gigil.
“Kami hampir saja membunuhmu. Oh, Tuhan! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Edwin tidak segera meraihmu, Mikha. Maafkan kami.” Elesha menangis sesenggukan, bahunya berguncang, telapak tangannya meremas jemariku.
Arsyad meninju bahu Alan, ” Kenapa kau tidak memberi tahu kalau Mikha tidak bisa berenang, hah?”
“Mana aku tahu. Dia tidak pernah cerita. Lagi pula, aku tidak pernah berenang bersamanya sebelum ini.” Alan membela diri.
Rustam terlihat ketakutan. Dia pun merasa bersalah atas kejadian ini. “A–aku hanya di–di–disuruh loh, Mi.”
“Sudahlah! Sebaiknya kita pulang,” Edwin membantuku bangkit.
“Biar aku saja yang mengantar Mikha pulang. Ni Imah tidak akan marah jika dia pulang bersamaku,” usul Alan.
Edwin mengambil jaket kulit coklat tua miliknya dari motor. “Pakailah! Ini akan menghangatkan tubuhmu.” Dia membantuku memasang jaket. Rasa dingin itu mulai menjauh, seakan-akan tubuhnya sedang memelukku. Edwin mengendarai motor paling belakang, memastikan kami baik-baik saja. Tak sekejap pun mata itu lengah. Tatapan mengikat yang sangat indah.
***
Aku dan Elesha memperhatikan sebuah pemberitahuan yang terpajang di dinding samping kelas. Kacanya terlihat buram, sudah lama sekali mading itu tidak digunakan. Sebagian berisikan tulisan-tulisan lama kakak kelas, baru hari ini lagi ada selebaran baru menempel.
Kami berpartisipasi pada event tahunan PORSENI antar-SMA se-kabupaten. Elesha tersenyum-senyum, matanya berbinar, seperti ada kebanggan tersendiri, setidaknya kepintarannya telah diakui. Bersama Edwin dan Amelia terpilih mengikuti kompetisi Cerdas Cermat.
Arsyad didaftarkan sebagai pelari jarak pendek. Tentu saja dia sudah terlatih sewaktu melarikan diri dari kejaran polisi—walaupun akhirnya tertangkap juga—bersama teman-teman gengnya itu. Sedangkan Alan akan mengikuti kejuaraan lempar lembing. Tubuhnya berotot serta jemarinya yang kasar dan cekatan pasti cukup berguna.
Sementara aku dan Rustam, secara kesehatan tidak cocok mengikuti kegiatan mana pun. Dalam bidang seni juga sangat payah. Kami mendapat tugas menyediakan segala keperluan peserta lomba sekaligus penggembira alias penonton.
Subuh, selepas menyadap karet, aku dan Alan menumpang mini truk pengangkut sayuran. Kami turun di pasar di kota, setelah itu berjalan kaki menuju lapangan Dwi Darma. Ramai, banyak pelajar berkumpul. Hilir mudik memenuhi sisi lapangan.
Dari sudut lapangan—sampai beberapa meter ke timur—ada panggung terbuka. Biasa dipakai warga untuk acara kedaerahan—Orkes Dangdut Melayu, juga apel bersama pada hari-hari besar. Di belakang, dipisah oleh ruas jalan mengelilingi alun-alun, terdapat arena basket. Di bagian pojok, masuk area terbuka juga ada tempat latihan panjat tebing. Sedangkan di bagian sisi, terlihat podium dan gedung berkonsep outdoor.
Pada halaman samping, dipisah oleh ruas jalan, tersedia warung makan dan aneka jajanan kaki lima. Sementara bagian depannya, tepat menghadap jalan besar, ada Gedung Bastari. Cerdas Cermat akan berlangsung di gedung itu.
Di trotoar depan lapangan di bawah pohon trembesi, aku dan Alan duduk menjongkok sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan. Limabelas menit berselang mobil rush putih memarkir di tepi lapangan. Menurunkan lima orang penumpang.
Apa kalian pernah menonton film Armageddon dengan efect slow motion ketika para astronot dadakan berjalan jemawa menuju pesawat luar angkasa dalam misi menyelamatkan dunia? Persis seperti itu.
Kehadiran mereka seketika mengundang decak kagum seluruh pelajar yang juga bergerombol di depan lapangan. Pandangan mereka membuatku risi. Semula kehadiranku dan Alan seperti tak kasatmata, tidak dipedulikan. Akan tetapi, setelah mereka bergabung, kami seperti artis dadakan.
Tatapan mereka—khususnya kaum hawa—sangat berbeda saat melihat laki-laki berwajah pualam itu. Alih-alih meladeni pandangan mereka, Edwin sama sekali tidak peduli.
Hanya sebentar, kami pun berpisah untuk menempati masing-masing area kompetisi. Aku dan Rustam berkeliling hingga lelah.
“Mi, ki–kita ke gedung i–itu yuk!” Rustam berkata sambil menunjuk sebuah bangunan tertutup.
Aku mengangguk. Kami harus memutari pagar dan menuju jalan besar terlebih dahulu. Cukup susah untuk ke dalam. Kursi yang disediakan panitia telanjur penuh. Penonton lainnya bahkan rela berdiri menutupi area.Tampak sekilas grup Edwin telah menempati panggung. Posisi mereka berada di tengah.
Bisik-bisik terdengar, “Bungasnyalah lalakian itu, siapa jua yang bauntung?”[1] Sebelahnya lagi seakan tidak mau kalah, “Ya, Tuhan! Siapa tadi namanya? Edwin? Berasa ingin pindah ke SMA Purnama.”
Gerombolan cewek di depanku tak henti-hentinya berceloteh seperti, “Bagaimana bisa cowok sepintar itu ada di SMA Purnama?”
“Siapa dia?”
“Apa sudah punya pacar?”
Masih banyak lagi desas-desus hingga kupingku panas.
“Sudah, yuk, Tam! Panas di sini. Nggak kebagian tempat juga!” Aku menggurutu mengibas-ngibaskan tangan mengusir gerah. Entah gerah bagian mana.
“Pak Hamdan kan, me–meminta ki–ki–kita jadi suporter!?”
“Nggak perlu! Mereka sudah punya banyak.”
“Apanya yang banyak?” Rustam masih protes, mengerut-ngerutkan muka. Sesekali mengatur napas.
“Sudah ah, ngapain sih lama-lama di sini?” bentakku.
“Kamu marah?”