Aku tergeragap, muka Arsyad sudah lebam-lebam, tapi lawannya itu lebih parah. Hindungnya bengkok dan mengucurkan darah segar, bahkan kelopak matanya berwarna ungu. Alih-alih melerai, penonton di sana serasa menyaksikan acara gladiator. Masing-masing mengambil taruhan siapa pemenangnya.
Alan dan Edwin bergegas menyeret Arsyad keluar. Penonton kecewa dan menyoraki mereka sambil melempar botol-botol minuman. Roman wajah Arsyad masih sangat emosi.
“Lepas!” Arsyad memberontak. Namun, tangan Alan dan Edwin mencengkramnya lebih kuat. “Mereka menghina sekolah kita,” Arsyad mengumpat. “Kita tidak boleh tinggal diam!”
Seperti pesakitan yang terus mengamuk dan kabur dari Rumah Sakit Jiwa. Alan dan Edwin menggeret Arsyad menuju parkiran lantas memasukkannya dengan paksa.
“Kamu di sini saja ya, Tam. Perwakilan dari sekolah kita jika ada apa-apa,” pesanku kepada Rustam sebelum mengekor teman-teman lainnya. Rustam mengangguk.
Di mobil, Arsyad rusuh tidak karuan, dia terus mengumpat-ngumpat. “Kenapa kalian tidak membelaku?”
“Hei, bisa keluar dari area itu dengan selamat saja sudah untung,” balas Alan.
“Tapi aku nggak terima sekolah kita dihina terus!” protes Arsyad lebih sengit. “Sekolah buangan, sekolah anak-anak nakal.”
“Oi, kalau kau tidak mau sekolah kita dihina, balaslah dengan prestasi, bukan emosi!” sergah Amelia. “Sikapmu bisa membuat sekolah kita bertambah jelek, didiskualifikasi dari perlombaan. Lagipula, sekolah kita memang buangan. Memangnya kamu dipindahkan ke SMA Purnama, kenapa?”
***
Di kelas, Rustam mengerjap-ngerjap, menatap lekat dua buah trofi besar—menurut ukuran kami. “Jangan ja–jangan, yang berkilau ini e–emas,”
“Juara satu cerdas cermat,” Elesha berbangga. Dia terus mengelus benda itu. “Juara dua lempar lembing, hmm … kita itu sebenarnya memang keren.” Kepala Elesha menggeleng-geleng, sejenak kemudian mengangguk-angguk. “Andai saja Arsyad tidak aneh-aneh kemarin, trofi ini sudah ada tiga,” gumamnya lagi.
Arsyad akhirnya didiskualifikasi karena berbuat onar dan menciderai salah satu peserta. Namun, Pak Hamdan tidak mempermasalahkan. Dua buah kemenangan telah menutupi satu kesalahan anak didiknya.
Rustam berkata, saat itu Pak Hamdan menerima trofi sembari berurai air mata. Wajar saja, sudah lama SMA Purnama tidak mencetak prestasi, ditinggalkan, dan dicap sebagai pondokan anak-anak berandal. Sebuah hadiah terindah sebelum sekolah ini benar-benar ditutup.
Grup Edwin bahkan mendapat tawaran untuk berlaga hingga ke tingkat provinsi di Banjarmasin, tetapi mereka menolak. Apalagi Amelia, tidak mungkin ikut, mengingat kondisi perutnya yang semakin besar. Edwin sendiri tidak tertarik sama sekali dengan iming-iming itu. Sementara Elesha hanya pasrah, tidak mungkin mengiakan sendirian.
Kami beranjak menuju halaman sekolah. Teman-teman lain sedang asik berkumpul di sana. “Lihatlah pohon kecapi itu, Kawan!” Alan bercerita.
“Me–memang a–a–ada apa de–dengan po–hon i–i–i–itu, Lan?” tanya Rustam.
“Perhatikan kain kuning yang melilit pada dahan itu!” tukas Alan antusias, dengan sorot mata tajam beraura mistik. Semua mata saling tatap penuh selidik.
“Kenapa memangnya? Bukankah sejak dulu seperti itu bentuknya?” tanya Amel.
“Kain itu adalah simbol. Sesuatu pernah terjadi di sana!” Alan duduk bersila di tengah Arsyad dan Rustam. Amel bergeser hingga berimpitan dengan Elesha. Sementara aku, bersisian dengan Edwin. Sesekali punggung tangan kami bersentuhan. Seketika desir-desir terasa menggelenyar di permukaan kulit.
Menurut almarhum Kakek Alan, dulu ada sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Mereka dari kampung berbeda. Pemuda itu bekerja di perkebunan dengan penghasilan pas-pasan. Konon, gadis yang dia cintai sangat rupawan. Suatu ketika, bersama ibu bapak mereka pergi melamar. Sungguh malang, mereka ditolak karena tidak bisa memenuhi ‘jujuran’ yang diminta keluarga calon mempelai.
Setelah pembatalan lamaran, orangtua sang gadis menerima pinangan lain. Sebuah keluarga yang dianggap lebih kaya. Gadis itu frustrasi. Satu malam sebelum hari pernikahan, dia melarikan diri bersama kekasihnya. Semua orang panik, kentongan dibunyikan nyaris semalam suntuk. Bapaknya bahkan bersumpah akan membunuh pasangan itu karena telah menoreh arang ke wajah keluarga.
Keesokan harinya, kehebohan semakin jadi. Orang berbondong-bondong menuju hutan. Teriakan histeris dan tangis mewarnai pagi itu. Pasangan tersebut ditemukan warga berpelukan, tergantung di pohon itu.
Alan menunjuk kembali pohon kecapi tua besar yang tumbuh subur tepat di luar pagar bambu. Sejurus kemudian menjulurkan lidahnya ke samping, membeliakkan mata dan mencekik leher sendiri. Seolah memperagakan sikap orang mati gantung diri.