Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #8

Jejak Tak Bertuan

Kata Ni Imah, wajahku seperti ibu. Bentuknya, warna kulit, rambut, bahkan suara. Ketika rindu menyayat-nyayat, cukup berdiri di depan cermin, maka sosoknya akan hadir. Hari ini Ibu tersenyum manis. Ada semburat merah muda menghias di pipi. Matanya bercahaya. Ibu cantik sekali. Ah, bukan. Itu aku yang sedang jatuh cinta.

***

Kami memiliki kebun karet peninggalan Bapak. Hanya satu hektar. Berisi sekitar empat ratus pohon. Letaknya bersebelahan dengan milik keluarga Alan. Dulu Bapak punya tiga hektar lain, tetapi sudah dibeli pada era Pak Salahuddin, karena mengandung batu bara. Uang hasil penjualan lahan tak tersisa saat Bapak sakit.

Subuh, ketika alam masih pekat dan gigil menusuk hingga ke tulang, aku dan Alan sudah berada di kebun. Memakai baju berlapis-lapis hingga menutup seluruh badan, menyisakan wajah dan telapak tangan. Nyamuk di kebun berjamaah dan besar-besar. Alan pernah terkena chikunguya. Kala itu kelelahan hingga tertidur di kebun. Saat terbangun, seluruh anggota badan susah digerakkan.

 “Mikha, kau sudah selesai?” Alan berseru dari depan lahan. Aku terbiasa menumpang mobil pick up miliknya untuk membawa hasil turihan. Bergegas merapikan semua peralatan. Siang semakin terik. Rasanya matahari sedang berada di atas kepala, panas sekali. Belum lagi jarak tempuh sekarang lebih jauh semenjak pabrik Pak Hidayat–bapaknya Siti–sudah tidak beroperasi. Mobil Alan bergoyang-goyang sewaktu melewati jalan berlubang. Aku bahkan harus mengatur posisi lantaran sering tergeser walau sudah berpegangan pada sisi jendela.

Pabrik yang kami tuju sekarang adalah milik perusahaan Pak Jamal. Selain pengusaha pertambangan, beliau juga pengelola pabrik karet. Selanjutnya diekspor ke negara Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, China, Singapura, dan Korea Selatan.

Aroma lum menguar mencucuki hidung bercampur keringat para petani. Bunyi kedebam mengentak saat karung-karung getah diturunkan. Semua pekerja kebun berjejer rapi menunggu penimbangan hasil jerih mereka. Guratan-guratan lelah terpancar, sesekali tangan mereka mengibas-ngibaskan baju ke wajah mencari hawa sejuk. Alan menurunkan dua karung latek dan satu karung lagi milikku. Dia menggeret ke arah timbangan besar terbuat dari besi kuningan yang menggantung tidak jauh dari tempat pembayaran. Peluh terus membanjiri pelipis dan punggung badan.

Alan mengawasi dengan cermat saat pekerja menggeser-geser bagian timbangan. “Apa? Cuman 50 kg? Tidak mungkin. Timbangan ini pasti salah!” protes Alan saat petugas menyebutkan angka.

“Kualitas karetmu tidak bagus, lagi pula timbangannya memang segitu, kalau tidak suka cari saja tempat lain!” bentak seorang pekerja berbadan bengis nan hitam. Petugas bagian penimbangan itu membusungkan dada, menatap Alan angkuh. “Terima atau tidak, hah! Masih banyak yang nunggu!” sengitnya lagi.

Alan membara, seluruh aliran darah memenuhi wajah. Urat lehernya menegang. Kutarik pergelangan tangannya, “Sudahlah, Lan. Tak guna kita berdebat, ayo keluar!” Kedua bibirnya terkatup, kurasakan otot-ototnya mengencang.

“Tapi ini kelewatan, Mi. Bagaimana mungkin—”

“Sudah, terima saja,” bujukku lagi.

Alan bersungut. Diterimanya uang sambil merengut. Saat itulah seorang laki-laki berkaos hitam tanpa lengan berjalan mendekat. Dia memakai gelang batu berwarna biru gelap. Aku terkesiap, bukankah gelang itu ….

 Kutarik Alan agar segera ke luar dari pabrik dengan segala pikiran berkecamuk. Alan bergegas menyalakan mesin mobil. Napasnya tak beraturan, sesekali kepalan tangan dibentur-benturkan di atas kemudi mobil yang sudah terkoyak. Sesaat kemudian pandangannya menerawang seolah memikirkan sesuatu.

“Apakah kau memikirkan hal yang sama, Mi?”

“Apa?”

“Tentang pabrik Pak Hidayat?”

“Kenapa memangnya?”

“Kurasa kebakaran itu disengaja!” Alan mengedarkan pandangan lurus ke jalan, “Siapa yang tak kenal Pak Jamal? Sesuatu yang menghalangi usahanya akan berakhir tragis? Pabrik Pak Hidayat lebih ramai dibandingkan milik Pak Jamal. Sejak dulu para pekerja kebun tahu, di tempat Pak Jamal timbangannya selalu keliru.”

“Aku bahkan memikirkan hal yang lebih buruk, Lan,” ucapku cemas.

Lihat selengkapnya