Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #9

Adriana

Kayutangi, Banjarmasin

Sebuah kota berselimut hujan pada bulan November. Pagi itu terasa dingin. Sebagian penduduk lebih memilih berada di kasur bergelung selimut hangat. Sementara di luar sana, hilir mudik angkutan kota bergerak lambat. Penuh harap agar mendapatkan penumpang satu-satu.

Mengenakan jaket tebal berwarna biru navy, Adriana berdiri merapat di emperan toko klontong yang masih tutup. Tangannya memegang tempat minum stanless berisi secangkir kopi susu hangat. Matanya terus memperhatikan ujung jalan, menantikan sebuah mobil kuning membawanya pergi.

Adriana melambaikan tangan. Mobil telah tiba. Hanya ada lima penumpang. Seorang wanita tua berkebaya lusuh sedang membawa sekeranjang sayur. Dia terlihat begitu letih. Di sebelahnya ada seorang lelaki kurus bercincinkan batu akik. Di bagian pojok belakang, tampak sepasang suami istri bersama anak kecil berusia sekitar empat tahun sedang terlelap di pangkuan sang ayah.

Adriana tersenyum ramah, duduk di dekat pintu. Sesekali percikan air membasahi jendela. Dia meletakkan tas kecil di pangkuan, memegang erat gelas untuk menghangatkan telapak tangan yang mulai beku.

“Kiri, Pak!” pinta Adriana. Angkutan menepi dan berhenti tepat di kawasan belakang Hotel Barito. Setelah memberikan beberapa lembar ribuan kepada Pak Supir, Adriana bergegas keluar, berlari kecil sambil menutupi kepala dengan punggung jaket.

“Selamat Pagi, Adriana,” salah seorang security bernama Heru menyapa dari ambang pintu belakang hotel.

“Pagi juga, Pak Heru. Bagaimana kabar Anda hari ini?” balas Adriana menyunggingkan seulas senyum. Dia mencari kertas merah di antara deretan nama-nama karyawan lain. Setelah menemukan namanya, Adriana memasukkan ke sebuah kotak mesin dan bergegas menuju lift.

 

***

 

Adriana menyambut ramah kehadiran seorang laki-laki berpenampilan klimis. Wajah pria itu cukup manis, dengan jambang tipis menghiasi dagu. “Selamat pagi, Bapak. Silakan.” Adriana menyodorkan kertas tebal berlaminating dengan hiasan bunga di beberapa sudut. Jejeran menu a la Eropa, China, dan Indonesia.

Laki-laki itu meraih daftar menu yang diberikan padanya tanpa berniat untuk melihat lebih saksama. “Apa Anda punya rekomendasi makanan yang bisa saya santap siang ini, Nona … hemmm … Adriana?” pinta customer tersebut sambil menatap wajah Adriana dan tag nama di dada sebelah kanan.

Adriana sedikit canggung, tetapi tetap berusaha profesional. Laki-laki itu terus saja menatap wajahnya. “Cuaca di luar sangat dingin, mungkin Bapak butuh sesuatu yang bisa menghangatkan badan. Bagaimana kalau Sup Buntut Bakar, Bapak,” tawar Adriana.

“Setuju!”

“Minumnya?”

“Air mineral saja.”

“Ada tambahan lainnya, Bapak?”

“Sementara ini dulu, Nona.”

“Baiklah, terimakasih, mohon ditunggu sebentar, Bapak.”

Customer tersebut tersenyum dan terus memandangi punggung Adriana. Dua puluh menit berlalu, aroma sup dengan aneka rempah seakan menguar-nguar di ruangan itu. Adriana telah mempersipakan Sup Buntut Bakar beserta kecap pedas, sepiring kecil emping belinjo, dan sebotol air kemasan berukuran 650ml.

***

Gerimis masih membungkus kota. Adriana berdiri di bawah pohon angsana menunggu angkutan  lewat. Entah kenapa sudah hampir satu jam Dia berdiri di sana, akan tetapi angkutan tak kunjung datang. Sebuah mobil sedan menghampiri tepat di depan Adriana kemudian kaca depan bergeser turun. Adriana sedikit membungkuk untuk memastikan pengendara di dalam.

“Hai, Nona. Kamu masih ingat saya?”

Adriana berpikir sesaat, itukan bapak yang makan di restoran hotel tadi.

“Apa kamu menunggu seseorang?”

Adriana menggeleng, “Nunggu angkutan, Pak.”

“Kamu mau kemana?”

“Kayutangi.”

“Kebetulan, naiklah!”

“Terimakasih, sebentar lagi angkutan pasti tiba.”

“Saya tidak akan menculikmu, apa perlu kamu pegang KTP saya biar kamu percaya”

“Bukan begitu, Pak. Hanya saja, ehmmm ….”

Bapak itu lantas turun meski gerimis menghujani rambutnya. Dia membukakan pintu dan memberi isyarat Adriana untuk masuk. Meskipun perasaan sungkan Adriana tetap masuk lalu duduk dengan gelisah.

“Kenapa kamu? Takut?” Laki-laki berkemeja biru itu mengulum senyum.

“Saya tidak biasa ikut orang asing. Maaf.” Adriana tertunduk sambil memilin-milin jari.

“Kamu boleh memanggilku Akhmad, atau kalau merasa saya terlalu tua panggil saja Pak Akhmad.”

“Saya Adriana, Pak.”

“Saya sudah tahu.”

Adriana tersipu, mengalihkan pandangannya keluar jendela, menatap gerimis yang membasahi kaca jendela.

“Sudah lama kerja di hotel?’

“Hanya pegawai kontrak, Pak, dua tahun.”

“Sudah jalan berapa bulan? Tahun?” tanya Akhmad lagi. Sesekali dia tersenyum melihat ekspresi tegang Adriana.

“Baru lima bulan, Pak.”

“Kamu kos di Kayutangi?”

“Iya, Pak. Itu setelah Unlam, belok kanan, Pak.”

Mobil merambat pelan, menyusuri gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk melintas. Mungkin hanya bisa dilalui satu buah mobil dan satu sepeda motor. Tepat di sebuah bangunan sedarhana berlantai dua dengan cat biru, Adriana meminta Akhmad menepikan kendaraan.

“Di sini kos saya, Pak. Terima kasih sekali sudah diantar,” ucap Andriana bersiap turun.

Lihat selengkapnya