Kakiku terpacak di depan toko aneka sepatu, sandal, dan tas dari berbagai ukuran. Sebuah tas berbentuk boneka beruang terlihat begitu elok. Berwarna merah muda. Bergelantung di plafon toko. Menyembul di antara jenis tas lain. Kedua tangan dan kaki beruang itu membentuk tali. Ketika dikenakan terlihat persis seperti hewan kesayangan yang memeluk punggung pemiliknya. Hidungnya segitiga meruncing dengan bola mata hitam besar. Garis senyuman melengkung terpola dari jahitan bordir.
“Ibu, aku mau itu!” ucapku bersemangat saat Ibu berusaha menarik tanganku. Seketika langkahnya terhenti, ikut menatap lekat.
“Kita sudah punya, Sayang,” jawab Ibu penuh kasih.
“Tapi aku mau yang itu, Ibu.” Kugoyang-goyangkan pergelangan tangannya agar bersigera membeli tas itu.
“Nanti, ya! Sekarang uang Ibu tidak cukup,” bujuknya kembali.
“Aku maunya itu, Ibu.”
“Iya, tapi nanti.”
“Ibu, aku maunya ituuu!”
Ibu membungkuk, hingga posisi kami sejajar. Tatapannya begitu terasa. Tak lama jemari kami saling bertaut. “Mikaela, Ibu minta maaf. Sekarang belum bisa membelikan tas itu, karena uang kita tidak cukup. Nanti, ya.”
Air mata berderai. Ibu menarik pergelangan tanganku lebih kencang, berusaha menjauhi toko. Baru beberapa langkah, kulepaskan dengan keras genggaman ibu dan berlari kencang kembali ke toko. Aku berusaha keras menggapai-gapai tas, melompat setinggi mungkin, hingga membentur dan menghamburkan rak penuh sandal tepat di sisi toko. Sepatu-sapatu berceceran hingga ke jalan.
“MIKAELA!” Ibu setengah berteriak. Sungguh, dia tidak pernah seemosi itu, matanya berkilat. Perasaan malu, sedih, dan juga marah. Marah terhadap polahku.
Ibu bergegas merapikan sandal-sandal. Memohon maaf berkali-kali di tengah cacian pemilik toko. Ibu menarik tanganku lebih keras. Isak tangis mewarnai sepanjang jalan, tak bisa digantikan walau sebatang es dundung yang dibelikannya di ujung pasar, kami menaiki angkutan. Di perjalanan hingga tiba di rumah, aku terus saja manangis. Ibu frustrasi.
Entah kenapa tangisku terus berderai. “Nanti, kalau panen, Ibu beliin. Ibu janji.” Ibu berkata sambil melingkarkan jari kelingkingnya ke jariku. Seketika aku tersenyum bahagia, dan berdoa panen segera tiba.
Sejak itu, Ibu semakin giat bekerja. Semula hanya beberapa perkebunan yang dia turih[1], hingga bertambah pada setiap harinya. Pulang pun menjadi lebih sore. Di musim hujan, harga karet memang merangkak lebih mahal. Hanya saja, pekerja kebun sering kesulitan menyadap karena pohon terlalu basah.
Purnama telah berganti. Seteleh semalaman hujan mengguyur kampung kami, pagi hari cuaca begitu cerah. Semburat sinar keemasasan jatuh di antara pohon-pohon karet. Tanah yang basah menguarkan aroma sangat dalam. Biasanya Ibu mengajakku turut serta, tetapi kali ini dia memintaku menunggu di rumah.
“Mikaela, tunggu Ibu pulang, ya.” Ibu menciumi kening dan ubun-ubunku. Lambaian Ibu menjauh di ujung jalan, langkahnya begitu anggun serupa bidadari menuju kahyangan.
Bayangan itu begitu lekat, seperti roll film yang terus diputar ulang di dalam botok kepala. Aku menungguinya di anak tangga. Menantikan pulang membawa sebuah tas kesayangan. Kakiku ke sana ke mari, sambil memainkan kuncup bunga sepatu. Menggigit buah ramania, melemparkan sisanya ke halaman. Sesekali memunguti biji getah. Aku hanya bocah yang telah jatuh cinta pada sebuah tas di pasar kota.