Cahaya keperakan jatuh di antara rimbunnya pohon. Langit cerah. Tak lama lagi rembulan terlihat penuh, jatuh pada kamis malam, saat perputaran menuju angka empat belas. Dalam setahun hanya terjadi beberapa kali. Penduduk memanfaatkan untuk berkumpul, terutama kaum muda. Ada ritual yang biasa mereka lakukan. Mandi purnama.
Pukul delapan malam lewat tiga belas menit.
“Kak Mikha ... aku nyuwun kembangnya, yo?” Itu suara Kinan. Gadis SMP kelas tiga. Bapak Ibunya keturunan Jawa. Seperti kebanyakan, keluarga Kinan transmigran yang diutus pemerintah untuk ikut serta memakmurkan bumi Kalimantan. Sehari-hari dia terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Jawa ngoko.
“Njih, ambil saja.” Aku menyembulkan separuh badan lewat jendela samping. Kinan sedang sibuk memetik mawar, kenanga, melati juga kemuning.
“Kak Mikha, belum berangkat?”
“Bentar lagi,” jawabku ringan.
Malam begitu cerah. Dadaku berdesir, andai saja Edwin ada di sini. Duhai, inikah rasanya rindu. Aku berjalan perlahan menuju ruang depan.
“Ni, ulun[1] berangkat dululah.” Kupamiti sosok wanita tua yang telah merawatku hingga belasan tahun itu. Tak ada hubungan darah antara kami, tapi dialah satu-satunya orang terdekat. Ni Imah sedang sibuk mengiris buah pinang. Di depannya ada beberapa mangkok kuningan kecil tertutup menyerupai candi yang telah usang. Tercium aroma daun sirih, kapur, dan gambir. Dia memulut bahan tersebut lalu mengunyah perlahan, menyesapi paduan rasa. Ritual tersebut sukses membuat gigi-giginya kuat. Di usia 70 tahunan, Ni Imah masih sanggup memamah nasi tanpa kuah.
“Ikam[2] ndak ikut mandi bersama mereka?” Cairan merah serupa darah segar mulai menyelimuti mulutnya.
“Nggak, Ni, Cuman bantu-bantu,” jawabku ringan.
“Kudengar, ikam dekat dengan pria kota?”
Kupingku seketika meninggi. “Teman sekolah, Ni.” Aku tergeragap tanpa berani menatapnya. Bagaimana Nini bisa tahu?
Ni Imah hanya berdehem dan terus mencecar beberapa pertanyaan. “Kam bawa inya[3] kemari.”
“Uhm … ijih, Ni. Ulun berangkat dulu. Sudah ditunggu yang lain.” Aku berpamitan sambil membawa tampah berisi kacang rebus dan beberapa sisir pisang awa. Bergegas menyusuri anak tangga menuju tempat Kinan dan kawan-kawan lain berkumpul.
Beberapa baskom besar berisi air penuh juga rerupa bunga berjejer rapi tepat di halaman terbuka rumah penduduk.
Tepat pukul 12 malam nanti, orang yang dianggap sesepuh kampung akan memandikan para anak muda menjelang dewasa diiringi taburan doa-doa. Setelah itu mereka diberi wewangian. Acara penutup adalah makan bersama. Makan bubur yang telah mendapat cahaya sang purnama.
Aroma bumbu sup ayam terasa menggelitik hidung. Perpaduan daun seledri dan daun bawang. Hmmm, nikmat. Anak-anak tertawa riang, berlarian sambil menendang bola. Cahaya bulan membuat kampung kami menjadi terang. Para muda-mudi bercengkrama. Ibu-ibu terus sibuk mengaduk bubur di kuwali besar sambil bergosip tentang harga karet yang terus turun. Mereka juga mengeluhkan kebun-kebun yang terkena proyek batu bara, tapi dihargai sangat murah. Juga tentang kematian Randu. Hingga kini, kasusnya masih simpang siur. Tidak ada kejelasan dari pihak kepolisian.
Walaupun suasana begitu ramai, rasanya tetap saja sunyi, sendiri. Seperti ada sesuatu yang tidak lengkap. Berlubang dan kosong. Aku terus melamun dan berkayal.
“Ayamku kemarin mati gara-gara keseringan melamun hingga lupa bernapas,” Alan menepuk pundakku.
Aku terlonjak, “Sejak kapan kau di sini?”
“Sejak matamu terus-terusan mencari sosok bermata biru itu.”
Aku mengerenyitkan dahi, menyikut legannya “Apaan sih?”
“Kita teman sejak lama, Mikha. Bahkan ya, seumpama ada rombongan gadis lewat dan salah satunya dirimu. Terus ada yang buang angin, aku tahu itu punyamu apa bukan.” Alan tertawa, sejurus kemudian mendaratkan cubitan ke pipiku.
“Sakit!” Aku melempar wajahnya dengan pisang. Dengan kecepatan ekstra ditangkap dan langsung dikuliti kemudian dilahapnya sambil menatapku dengan pandangan meledek.
“Apa?” tanyaku kesal, tetapi rona di pipi tidak bisa menyangkal rasa bahagia hadir begitu saja. Ah, hanya dengan seseorang menghadirkan sosoknya telah membuat hati ini bungah.
“Dia terus menanyakanmu.” Alan mengambil beberapa biji kacang rebus. Duduk di hamparan tikar sambil mengangkat sebelah kaki kiri dengan menopang dagu. Rambut jagungnya mulai panjang menyentuh bahu dikibas-kibaskan hingga menutupi telinga.
“Siapa?” Aku pura-pura tidak tahu, sementara bisikan hatiku meminta lebih. Benarkah? Apa yang ingin dia ketahui, apa saja ... ehm ....
“Dih. Bego apa bego beneran? siapa lagi? Sepertinya dia sangat menyukaimu. Aih, siapa yang tidak suka gadis secantik Ini?” Alan melengkungkan segaris senyuman, lantas memamerkan barisan giginya yang sedikit menguning.
“Kau sering bertemu dengannya?”
“Yup, kami sering nongkrong di lapangan kota. Sama Arsyad dan Rustam juga.”
“Benarkah? Kenapa kau tidak pernah mengajakku?”