Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #12

Studio Foto

Meskipun panas manggantang, suasana pasar begitu ramai. Beberapa pedagang kaki lima menggelar lapak di bahu jalan. Ruas-ruas jalan terasa sempit. Kami memarkir motor tepat di halaman studio foto. Dulu, ke sini untuk mengambil foto sebagai syarat keperluan ijazah atau awal masuk sekolah. Masih sama. Sebuah kursi panjang di depan etalase tempat karyawan menerima pengunjung. Di atas meja ada beberapa sampel foto, ukuran, dan harga. Pada ujung meja ada hiasan kembang imitasi kecil berwarna ungu.

Seorang pelayan wanita menyambut kedatangan kami. Sepertinya hanya ada dua pekerja di studio ini. Laki-laki berperawakan tinggi dan ceking. Rambutnya tipis dengan ekor tikus di sebelah kiri. Dia sibuk membersihkan beberapa lensa kamera.

Pelayan itu mengajak kami ke lantai atas dan mempersilakan untuk memilih latar. Ada background menyerupai pantai, pegunungan, sampai menara Eiffel. Amel memutuskan warna coklat tua bergradasi. Menurutnya ini lebih elegan.

Edwin berdiri tepat di sebelah kiriku. Alan sebelah kanan. Sebelah Alan lagi Elesha, disusul Rustam, Amel, dan Arsyad. Kami melakukan dua sesi pemotretan dengan dua pose berbeda. Ketika selesai, Amel meminta sang fotografer melakukan take sekali lagi.

“Satu kali lagi, Paman!” pintanya semringah. “Edwin, Mikha, kalian tetap di sana. Kita harus mengabadikan pasangan paling romantis sepanjang masa,” cetus Amel.

Malu sekali, rasanya semua mata tertuju pada kami. Belum lagi, Edwin melingkarkan tangannya ke pundakku. Cahaya lampu dari balik payung membuatku gugup. Edwin tersenyum.

“Mikaela, lihat aku!” bisiknya lembut. Tepat saat ekor mataku menatap matanya, blitz kamera menyala. Semua teman bersorak. Rasanya seperti sedang di pelaminan.

Aku turun, menyusuri anak tangga menuju selasar studio. Tepat di seberang, terlihat sebuah rumah mewah, bersisian dengan rumah sederhana berdinding kayu tempat praktik dokter gigi pada malam hari. Terdapat jalan merah sempit membentang di antara keduanya. Sebelahnya lagi adalah Masjid Baiturahman, masjid terbesar sekaligus pemilik menara tertinggi di kota ini, dengan posisi menghadap pasar. Di belakangnya mengalir sungai berwarna kecoklatan. Saat musim hujan, air menggenangi sisi-sisi jalan.

Aku memandang lamat menara masjid yang begitu kokoh. “Apa yang kaupikirkan?” Edwin berdiri di sebelahku.

“Ibu pernah bilang, di pagi hari kita bisa melihat awan yang sangat indah melalui pucuk menara itu. Ibu juga pernah berjanji akan mengajakku, tapi janji itu tidak pernah terlaksana karena menara tersebut selalu terkunci pada siang hari.”

“Ibumu, pasti sosok yang luar biasa.”

“Wajahnya seperti aku.”

“Kalau begitu, ibumu sangat cantik.”

Aku tersenyum.

“Andai dia di sini, aku ingin mengucapkan terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Terima kasih, telah melahirkanmu untukku.”

Pipiku kembali menghangat.

Mataku tertumpu pada asap pekat yang terus membumbung, keluar dari celah atap rumah tepat di seberang studio. Dalam sekelebatan mata membentuk gumpalan sangat banyak. Napasku terhenti, tanpa sadar mencengkram tangan Edwin erat. Tiba-tiba ... DUAR!

Terdengar ledakan serupa granat yang dipetik sumbunya lalu dilempar ke rumah itu. Atap rumah hancur seiring dentuman ledakan yang mahadasyat. Remahan kayu dan pecahan kaca terlempar kemana-mana.

Edwin reflek membungkus wajahku dengan bahunya. Terdengar lenguhan saat tangannya mendekap erat. Sepotong pecahan kaca tepat menghantam lengannya, meninggalkan jejak luka yang menganga. Darah segar mengucur membasahi seragamnya.

“Edwin, Mikha,  ayo pergi!” teriak Alan. Kami berhamburan. Edwin menarik tanganku menjauhi area. Suasana begitu riuh, teriakan api dan jeritan minta tolong memekik dari berbagai penjuru. Api kian besar, kami berlarian, saling gencet, tabrak dan sikut. Peganganku terlepas. Edwin menghilang.

“Mikha, ayooo!” Alan menarik tanganku. “Di sini tidak aman,” serunya lagi.

“Edwin mana?” Suaraku redup tak terdengar. Alan terus menyeretku menuju sebuah bengkel yang telah tutup. Sudah ada Elesha dan Amelia di sana. Wajah mereka pucat dan gemetar.

Sirine dari masjid melengking seiring kobaran api yang merambat, melahap rumah-rumah di sekitarnya. Embusan angin kencang membuat api semakin besar. Beberapa pedagang panik sambil membenahi dagangan. Sebagian lagi berusaha menyelamatkan barang.

Di ujung jalan, kulihat Edwin tertatih, berjalan sambil memegang lengannya yang terluka. Bajunya semakin kuyup oleh rembesan darah.

“Bagaimana lukamu?” tanyaku.

“Tidak apa-apa, hanya lecet.”

“Lecet gimana! Ini besar, Edwin. Kita ke rumah sakit, ya?”

“Aku baik-baik saja, Mikaela.”

“Darahnya banyak sekali!” Edwin melepas seragam, kulit putihnya yang bercahaya seketika tertutup cairan merah. “Tolong ikatkan,” pintanya.

Aku merasa jeri, meski luka itu sudah rapi terbungkus kain seragam. Ini pasti sakit sekali, pikirku. “Hei, aku tidak akan mati hanya karena goresan ini,” bisiknya.

Beberapa mobil pemadam kebakaran mulai berdatangan. Tidak lama setelah itu, Alan, Rustam dan Arsyad entah dari mana, tiba-tiba datang dalam keadaan kuyup. Kurang lebih dua jam, api berhasil dijinakkan.

Lihat selengkapnya