Jikalau ada yang berbahagia saat pertambangan batu bara menggeliat, maka orang tersebut adalah Acil Zuleha. Demikian pula sewaktu perusahaan sedang merosot—izin pertambangan dipersulit semisal, karena peraturan pemerintah berubah-ubah seiring dengan pergantian pemimpin—dia menjadi wanita pertama paling berduka. Pasalnya, warung menjadi sumber penopang kehidupannya sehari-hari. Ramainya pelanggan berdasarkan ramainya pekerja tambang yang singgah di sana.
Di warung itu, dia dibantu dua orang perempuan muda. Baru lulus SMA. Hari biasa, salah satu asistennya datang ke rumah kami. Mengambil bungkusan nasi lauk itik masak habang buatan Ni Imah. Namun, kali ini aku sendiri yang harus mengantar. Salah satu pelayan Zuleha sedang membantu acara pernikahan Siti. Satunya lagi sedang sakit.
Ni Imah setelah selesai mengolah pesanan bergegas ke rumah baru keluarga Siti. Mereka menempati salah satu bangunan megah milik Pak Jamal, berdekatan dengan Masjid Al-Ikhlas. Rumah dan masjid paling mentereng di kampung kami.
Semua bungkusan nasi telah siap di keranjang. Aku bersepeda menuju warung. Ada daerah senyap dan jauh pemukiman sering membuatku cemas. Hutan terlarang. Tanah di sekitar hutan itu masih sengketa. Hutan berhantu, kata Alan.
“Jangan sekali-kali kaudekati tempat itu, Mikha,” Alan berucap semasa kami masih kanak-kanak. Sedangkan dia sendiri bersama teman-temannya sering menyelinap ke hutan itu. Saat pulang selalu membawa puluhan ramania yang dibungkus dengan bajunya.
Mendekati area hutan membuatku bergidik. Sekeliling terasa mencekam. Derit sepeda seakan berpacu dengan desiran angin yang menampar-nampar wajah, menerbangkan helaian rambut hingga berkibar tak tentu arah. Rok panjang yang aku kenakan nyaris tersangkut pada rantai sepeda.
Aku harus mengatur napas perlahan saat tiba di warung Zuleha. Rasanya melegakan ketika melihat keramaian.
Warung Zuleha cukup sederhana. Didirikan dengan tiang-tiang penyangga dari bilah-bilah bambu. Beberapa kursi juga meja panjang kayu meranti yang ditebang dari hutan-hutan tak bertuan.
Matahari mulai tergelincir. Para pemuda, bapak-bapak juga karyawan pertambangan memadati warung. Senda gurau terdengar riuh seakan melepas penat setelah seharian bekerja. Di sudut lain terlihat dua orang bermain catur, ada pula yang bermain domino, dan tentu saja bertaruh. Truk-truk memarkir liar tidak jauh dari tempat itu.
Zuleha, wanita berpenampilan semok, berkulit putih dengan rambut panjang yang sering dikuncir kuda. Seorang janda dari supir truk pengangkut batu bara yang entah kemana rimbanya. Suaminya menghilang tiga tahunan silam. Kabar burung menyebutkan dia tidak pernah sampai ke pelabuhan, truknya terjungkal ketika melintas daerah Martapura. Sedangkan sumber lain mengatakan, terakhir kali suaminya itu menyeberang ke Pulau Jawa.