Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #14

Laki-Laki Bertato Naga

Cengkeramannya begitu kuat bahkan ketika menyumpal mulutku dengan telapak tangannya yang menjijikan. Kurontakan kaki sejadi-jadinya dengan menendang tubuh laki-laki bertopi hitam itu. Namun salah seorang lagi semakin garang. Memegang dan mengapit kedua kakiku lalu menyeret masuk ke kawasan hutan terlarang.

“Aaa, Sial! Rupanya kau ingin bermain-main, hah!” umpat laki-laki itu. Aku berhasil melepaskan diri setelah menggigit jari-jari itu, rasanya seperti menggigit daging paling najis sedunia. Cuih!

Seketika tubuhku terjerembab menyisakan memar-memar pada lutut dan siku. Sebuah batang kayu menghalangi. Tidak boleh menyerah, ayoo bangkit! Lari Mikaela, lari! Batinku menguatkan.

Keadaan hutan cukup suram, hanya ada beberapa temaram cahaya menerobos halus di balik dedaunan. Pohon-pohon itu seperti berputar-putar mengelilingi. Derap langkah mereka terdengar nyaring memekakkan gendang telinga.

Gundukan tanah kembali membuatku roboh. Secepat kilat tangan-tangan itu kembali mendekap. Merobek paksa pakaian, menciuminya kemudian melemparkan kepada temannya. Separuh tubuhku nyaris terbuka. Tatapan mereka semakin jalang. Kutendangkan kaki sejadi-jadinya melakukan perlawanan, tetapi mereka semakin barbar.

Plakkkkk!!! Plakkkkk!!!

Salah seorang berperawakan lebih sangar mendaratkan pukulan hebat tepat di wajah hingga ujung hidungku mengeluarkan cairan panas. Perih. Seperti ada ratausan jarum mencucuki kulit. Serta merta baju yang tinggal separuh kembali dirampas. Sementara kedua temannya menyeringai puas. Aroma asam menguar dari tubuh para lelaki itu, sangat menjijikan.

 “Lepaskan … lepaskan!!!! Tolooongggggg!!!!” Deraian air mata membuat pipiku semakin perih. Tangan mereka semakin liar dan brutal meskipun tangisku terus memohon.

“Tak kusangka ada gadis cantik di tempat terpencil ini, ha ha ha !!!!”

Laki-laki itu. Tato naga itu. Gelang batu biru tua itu. Napasku tercekat. Gelak tawa semakin nyaring. Tuhan, dosa besar apa yang telah kuperbuat.

“Sekarang bos! Kami menunggu giliranmu!!!”

Tubuhku menggigil. Kucoba melengkungkan diri, melindungi apa pun yang bisa dilindungi. Tragis, cengkeraman mereka semakin kuat. “Aku mohon lepaskan, aku mohon ….”

Kematian rasanya teramat dekat.

Dengan penuh napsu dia menindih tubuhku tanpa ampun.

Bruk!

Dia terguling, melepaskan cengkeraman. Sosok lain berdiri angkuh penuh amarah. Kedua kelopak mataku tak bisa menangkap jelas tertutup buliran air mata. Samar-samar, lalu terlihat beberapa orang sedang baku hantam.

Lihat selengkapnya