Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #15

Bangku Kosong

Laki-laki itu berdiri di bawah pohon karawaya besar. Aku berusaha mendekat, mencoba mengenali wajahnya. Sesaat dia memutar badan dan menyeringai. Tangannya berusaha mencengkeram.

Ketakutan terus menghunjam. Kuayunkan kaki secepat mungkin menjauh. Akan tetapi sebuah kubangan berlumpur hitam menggelungku. Ia seolah hidup lalu terus memaksaku menuju dasar.

“Tolong!”

Kedua tanganku bergerak liar mencari pegangan.

Edwin terlihat di sana. Berdiri mematung di tepian. “Tolong aku, Edwin!” Dia bergeming. Aku berusaha menggapainya, tapi tak pernah bisa menjangkau tubuhnya.

“Edwin, tolong!”

“Mikha!!!”

Aku terperanjat. Tepukan Ni Imah di pipi masih terasa. Jantungku berdetak kencang dengan napas memburu.

“Ada apa?” Suara Ni Imah terdengar parau. Dielus-elusnya punggungku, sementara aku mengusap wajah dengan kasar. Mimpi tadi benar-benar seperti nyata. Tatapan Edwin penuh amarah begitu membekas.

U-lun mimpi.” Suaraku bergetar. Lumpur itu terasa melekat di seluruh permukaan kulit. “Mau ke kamar mandi dulu.” Aku bangkit, meninggalkan Ni Imah yang belum sempat bertanya apa-apa.

Air mengguyur sekujur tubuh tanpa jeda. Cengkeraman lumpur tadi mengingatkanku pada sentuhan kasar para penjahat semalam. Air mata kembali luruh. Ini semua benar-benar menjijikan. Berulang kali kugosok tubuh dengan sabun. Berharap bekas cengkeraman itu hilang sepenuhnya di permukaan kulit. Namun sia-sia, rasa panas dan kasarnya telapak tangan mereka begitu lekat.

“Mikha, apa yang kaulakukan?” Ni Imah menggedor-gedor pintu kamar mandi.

“Mandi, Ni.”

“Ini masih malam, masuk angin nanti.”

 Aku tergugu, meringkuk tepat di pojokan bak mandi. Dingin, tapi tanganku tak ingin berhenti. Kejadian semalam terus berkelebatan di ingatan. Para bajingan yang muncul di kegelapan malam, juga tatapan dingin Edwin yang membuatku sakit.

***

Terdengar suara motor berhenti tepat di halaman rumah. Gegas kuraih tas di meja kayu bundar dan melangkah keluar. Dua hari tanpa aktifitas sekolah itu sungguh membosankan. Apa lagi tidak bertemu dengannya. Masuk sekolah adalah pilihan paling tepat. Semoga dia menjemputku. Namun, deru motor itu bukan milik Edwin. Aku paham mati, bagaimana mesin kuda besi NSR hijau tanpa plat itu.

Lihat selengkapnya