Janur kuning melengkung di pekarangan rumah besar berlantai marmer perpaduan warna putih dan krem muda. Bendera warna warni berjejer rapi. Hilir mudik tetangga terlihat sibuk. Di halaman samping di bawah tenda besar, para uma berkumpul. Ada yang memotong sayuran dan daging lalu memasukkan ke wajan besar tempat rebusan bumbu. Permukaannya meletup-letup. Peluh membanjiri nyaris sekujur badan para tukang masak itu. Asap mengepul memaksa keluar dari celah tenda. Sesekali mereka bercengkrama dan tertawa gembira. Anak kecil berlarian mengitari dapur, meminta makanan kepada umanya. Begitu riang saat mendapatkan sepotong atau dua potong daging dari dapur pengantin.
Aroma rempah menyesaki hidung. Ah, lama sekali lidahku tidak merasakan nikmatnya masakan ini. Dengan acar dari irisan timun, wortel, kol, bawang merah, dan cabe. Rasa asam dan gurih, selaras dengan kari sapi. Disantap dengan kepulan nasi panas.
Beberapa remaja berkumpul di beranda rumah, membuat hiasan dinding dan pelengkap pelaminan. Dua buah kuningan menyerupai pot bunga sangat besar mengapit tempat duduk sang pempelai. Seketika anganku mengembara, aku dan Edwin bersanding di kursi itu. Mengukir senyum, bergandengan tangan dan saling suap ketan kuning. Kelima sahabat kami memberikan selamat, diiringi doa. Di-usung[1] dua orang berbadan perkasa, bak putri dan raja. Kemudian musik panting menggema.
Aku menuju kamar mempelai, melewati puluhan juru masuk yang terus menyeka keringat. Kamar Siti sangat Indah. Kembang mayang menghias. Gemerlap lampu menambah semarak rumahnya. Megah. Siti duduk di pojok kamar, di samping ranjang bertaburan mawar. Wangi sekali. Dia kesulitan menghias daun pacar pada kuku-kukunya.
“Boleh aku membantumu?”
Siti menoleh, “Hei, iya, ini agak sulit. Kenapa baru sekarang datang? Kau tahu aku sudah tidak bisa kemana-mana lagi.” Siti tersenyum bahagia. “Aku turut prihatin dengan kejadian di hutan, Mikha. Kau baik-baik saja, bukan?”
“Seperti yang kau lihat, masih utuh, he he?”
“Aku senang mendengarnya. Hari itu aku juga ingin sekali menjengukmu, tapi Ibu melarangku, pamali katanya calon pengantin keluar rumah.”
“Tidak apa-apa, aku ngerti kok.”
Siti kembali mengoles kuku dengan tumbukan daun pacar itu. Mukanya begitu merona, sesekali tersenyum, tanpa beban, dan terlihat begitu berbahagia. Apa dia tidak takut menghadapi bandot tua itu? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku meremang.
“Sepertinya kau senang sekali, Ti.”
Siti melirikku, kemudian kembali tersenyum. “Pak Jamal tidak seseram yang aku kira. Dia sangat ramah, istri-istrinya harmonis dan kompak, mereka membawakan hantaran juga ikut menghias kamar ini”
Aku menatapnya lamat dari ujung kaki hingga ujung rambut. Siti salah tingkah. “Apa kau sudah terkena bulu perindu[2]?”
Siti tertawa hingga menahan perut, “Entahlah, bahkan dia belum pernah menyentuhku.”