Langkahku terhenti tepat saat mata kami bertemu di udara. Dia bersandar pada tepi motor dengan tangan terlipat. Ada perasaan takut dan khawatir tiba-tiba menyelinap. Kuatur napas dan degub jantung yang terpompa dengan cepat. Benarkan itu dia? Apa dia ke sini mencariku? Apa yang dia pikirkan? Ah, kenapa seperti pertama kali bertemu. Berapa lama sesungguhnya kami terpisah? Seratus purnama? Lihatlah penampilannya itu, tanpa seragam sekolah dia terlihat begitu dewasa.
Aku mendekat perlahan, “Kemana saja?” Ada perasaan bungah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, tapi di saat bersamaan perasaan kekhawatiran melanda. Ya Tuhan, beginikah rasanya dandaman?[1]
“Hanya ada urusan kecil yang harus diselesaikan,” dia berkata sambil terus menatapku lamat. Dia berusaha tersenyum, tapi terasa aneh. Apa dia berbohong? Untuk apa?
“Kenapa lama sekali?” Ada banyak yang ingin aku sampaikan, semisal kenapa tidak pamit dulu atau kenapa harus tiba-tiba? Seberapa penting urusan itu hingga berhari-hari menghilang.
“Apa kau merindukanku?”
“Tentu saja.” Aku merengut. “Apa aku harus bilang tidak, agar kau menggodaku?”
“Aku juga,” jawabnya spontan. “Naiklah, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.
“Kemana? Aku harus pamit sama Ni Imah.”
“Nanti kau akan tahu, Aku telah meminta ijin dengan nenekmu sebelum ke sini.”
“Benarkah?”
“Beliau berpesan, harus tiba di rumah sebelum magrib dalam keadaan utuh tak kurang suatu apa pun,” balasnya sambil menyunggingkan seulas senyuman.
Ah, Nini. Apa kau merestui hubungan kami?
Edwin menghidupkan kuda besinya, menderu memecah cuaca yang masih dingin. Gerimis pagi tadi menyisakan basah di sepanjang jalan merah. Beberapa tempat tampak becek. Kecipak air sesekali mengenai ujung kaki. Kami keluar perkampungan dari rimbunnya pohon rindang dan rumput ilalang. Terlihat pula tupai-tupai berlarian sambil menggigit buah kasturi.
Motor terus melaju. Kini menyusuri kawasan kerukan pertambangan batu bara. Beberapa bekas galian bahkan membentuk danau. Terlihat dua orang penjaga bertampang sangar menenteng senjata laras panjang. Mereka mengawasi setiap kendaraan melintas. Terlihat pula truk-truk besar keluar masuk mengangkut muatan. Upah para supir penambang itu berdasar kuantitas. Tidak heran kalau mereka menjejalkan emas hitam sebanyak-banyaknya. Remahan terus berjatuhan saat truk melewati jalan berlubang.
Setelah keluar dari area pertambangan, kami melewati hutan jati juga kebun karet. Edwin terus melaju hingga ke jalan besar. Sesungguhnya tidaklah terlalu besar, tapi jalan inilah yang dilewati bus antar provinsi, juga truk pengangkut batu bara pada jam-jam tertentu. Sebagian jalan terlihat rusak dan berlobang. Menurut informasi yang kami dengar, pemerintah berencana membuat jalan tersendiri bagi pengangkut batu bara.