Aku berlari menerobos keramaian. Di saat bersamaan terdengar klakson yang terus menggema seolah meminta orang-orang yang berkerumun untuk memberi jalan. Alan keluar dari mobil pick up. Dibantu warga menggotong tubuh Rahmat yang bersimbah darah. Ibu Marlisa—ibunda Rahmat—meraung-raung menepuk dada kencang meratapi keadaan putranya. Beberapa wanita berusaha menenangkan dan membawanya ke selasar masjid.
***
Satu malam sebelum prosesi pernikahan, kembali kukunjungi Siti. Rumah itu masih meriah, dan orang semakin sibuk.
“Cil, Siti ada?” tanyaku ketika berpapasan dengan ibunya yang sedang membawa batang-batang Citronella.
“Masuk saja, dia ada di kamar deket dapur.”
Aku menemukan Siti sedang duduk bertopang dagu pada sandaran kursi kayu. Seketika dia berhambur memelukku.
Siti terisak, “Mikha, bagaimana keadaannya?”
Kudekap erat tubuh Siti sambil mengelus punggungnya lembut. “Dia masih di rumah sakit Datu Sanggul. Sudah lebih baik.”
“Aku yang salah, aku yang membuatnya seperti itu.”
“Nggak, Ti. Rahmat hanya belum bisa menerima,” ucapku menenangkan. Aih, situasi seperti ini kadang kita bisa jadi sosok paling bijaksana, tapi saat kesedihan melanda diri sendiri belum tentu bisa melewatinya.
“Apa yang bisa kulakukan? Bagaimana caranya Rahmat bisa mengerti?”