Pak Hamdan masuk kelas dengan mata semerah saga. Entah karena marah memuncak atau habis menangis. Bisa juga akibat asap yang sering mendera beberapa hari terakhir ini. Langkahnya bergegas, kaku, tak ada senyuman seperti biasa menghiasi wajah. Hening menelingkup seisi ruangan. Arsyad apalagi, mukanya pucat masai. Dia seperti meringkuk di pojokan.
Hempasan buku di tangan Pak Hamdan seketika merobek kesunyian. Tangannya mengepal, kilatan mata menyambar-nyambar. “Jadi ada siswa berlagak jagoan di SMA ini, hah!” Laki-laki penuh wibawa itu berucap penuh dengan emosi.
Keikutan Arsyad pada balapan di sirkuit yang akan diadakan seminggu lagi, rupanya sampai juga ke telinga beliau. Semua siswa di SMA Purnama nyaris membawa masalah sendiri-sendiri.Terlalu sering bikin huru hara bisa membuat kami batal mengikuti ujian. Dipastikan 99% tak akan ada lagi sekolahan yang mau menerima murid pindahan dari SMA Purnama.
Dengan postur tubuh tinggi besar serta kumis tebal menghiasi wajah kotaknya menciptakan aura kejam. Apalagi saat marah seperti itu. Maklum saja beliau mantan anggota TNI. Kakinya melangkah mendekati meja Arsyad. “Kamu! Ikut Bapak keluar,” ucap beliau sengit.
Semua membisu, bersitatap satu sama lain. Arsyad bangkit, mengekor dengan langkah gontai. Ada keinginan kuat untuk mengintip, kemana gerangan Arsyad akan dibawa. Edwin sepertinya tidak ingin melewatkan adegan satu pun, dia bergegas keluar. Seperti dikomando, kami beriringan perlahan. Elesha menggenggam jemariku, kakinya terseret-seret, telapak tangannya terasa beku dan basah.
Mereka menuju bangunan tidak terpakai, bersisian dengan kamar mandi yang dipisah sebuah karidor. Sebuah gudang tua berukuran sekitar 3x4 meter. Tempat penyimpanan barang-barang tidak terpakai. Tak ada satu pun pernah memasuki ruangan yang terkunci rapat itu.
Jangan-jangan Arsyad mau dihukum di ruangan itu.
Pak Hamdan mengeluarkan anak kunci dari saku celana. Membuka perlahan. Pengap. Debu-debu bertebaran, kami mendekat pelan. Saling gandeng, saling intip. Sebuah gundukan besar di tengah ruangan, berselimutkan terpal usang di antara piala-piala, buku-buku tebal, dan alat-alat kebersihan.
Beliau mematung di sebelah gundukan itu. Lalu menarik perlahan dan menjatuhkan ke lantai. Tampaklah sebuah sepeda motor trail berwarna hijau. Bannya masih sangat baru, tak ada cacat sedikit pun. Debu-debu menempel di beberapa sela. Tebakanku motor itu belum pernah menjelahi medan jalan.
Meluncurlah sebuah kisah dari mulut seorang mantan perwira yang sangat kami hormati. Beberapa tahun silam, saat sekolah ini masih berjaya. Seorang siswa bernama Imanuel pernah menoreh sejarah, pembalap motor cross berbakat. Predikat juara selalu menyertai. Sebuah sponsor dari Negara Kanada telah menanti. Pendidikan sekaligus pelatihan. Tak dinaya, beberapa minggu menjelang keberangkatan, motor yang sedang dikendarainya digilas sebuah truk pengangkut barang dari pulau Jawa. Imanuel meninggal, tepat saat hadiah dari pemerintah daerah tiba di rumahnya. Sebuah motor trail dengan kualitas paling baik.
Kini hadiah tersebut seakan terlahir kembali. Tangis haru pecah ketika Pak Hamdan menyerahkan kunci tersebut kepada Arsyad lalu memeluknya sangat erat. Sepeda motor itu seharusnya dikendarai seorang siswa berprestasi, Steven Imanuel Panjaitan bin Hamdan Panjaitan.
“Lakukan tugasmu, Nak. Jadilah yang terbaik, jadilah pemenang. Bapak akan selalu mendukungmu,” Pak Hamdan berucap dan menyalami Arsyad. Arsyad terus mengusap pipinya dengan lengan. Elesha terisak, begitu pula Amelia tak kuasa membendung kebahagian. Rustam, Alan, dan Edwin saling rangkul.
Sejak itu, Arsyad dibimbing langsung Pak Hamdan. Arsyad semakin mantap berlaga menuju sirkuit.
***
Pagi begitu cerah, matahari memancarkan pesona. Muda mudi dari segala penjuru mulai memadati lapangan Sirkuit Tebing Tinggi, Bungur. Sebuah sirkut terbangun dari kemurah-hatian para pengusaha batu bara. Sebagai wahana menampung bakat kawula muda yang sering balapan liar di jalanan. Di depan pintu masuk, gapura megah berwarna merah menyala seakan siap menyambut kedatangan para pembalap berbakat. Di sisi lapangan masih tampak pepohonan lebat. Tanah merah meninggi dan berliuk-liuk. Masing-masing penonton telah mempersiapkan yel-yel beserta atribut untuk jagoan mereka.
Kami berenam bergerombol mengerumuni Arsyad memberikan support. Tentu saja kehadiran kami kembali menjadi magnet tersendiri. Setiap orang seakan menoleh, mencibir, berbisik, dan mungkin berdecak kagum. Amelia mengenakan dress panjang berwarna merah muda. Saat kain panjang itu diterpa angin, lekukan perutnya semakin jelas terlihat. Semakin buncit.
Seperti biasa tatapan tiada henti dari para perempuan baik muda ataupun tua, tentu saja di arahkan kepada Edwin. Dia primadona tersendiri mengalahkan para pembalap yang rata-rata berkulit legam. Edwin cuek, tangannya bergelayut merangkul bahuku. Dia tak membiarkan tubuh ini lepas barang semenitpun.
Alan tak henti-hentinya bersorak, bertepuk tangan gegap gempita apalagi saat tembakan penanda perlombaan dimulai. Elesha tak henti-hentinya berteriak histeris di bawah payung berdua bersama Rustam. Seorang laki-laki jangkung, berpakaian safari mendekat ke arah kami. Kemudian berbisik di telinga Edwin.
“Aku keluar sebentar, Mikaela,” ucap Edwin setengah berbisik.
“Mau kemana?” tanyaku penasaran.