Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #20

Pergi Untuk Kembali

Balikpapan, Kalimantan Timur

Langit begitu cerah, cicitan burung gereja merdu bersahutan menyambut suasana pagi di sebuah taman kota. Adriana duduk meyandarkan bahu di tepi kursi jati panjang berwarna kuning keemasan. Sesekali tangannya memijit lembut otot kaki. Melepaskan sepatu menyingkirkan butiran pasir. Tidak berapa lama kemudian, ia melanjutkan jogging menuju pulang.

Menurut rencana, Akhmad akan kembali dari Surabaya dua hari lagi. Tiba di depan pintu apartemen tempat mereka tinggal, Adriana terperanjat karena pintu kamar sedikit terbuka. Seingatnya sebelum berangkat tadi sudah memastikan pintu terkunci rapat. Apa mungkin Akhmad sudah pulang?

Namun berbeda dengan yang ia pikirkan, di ruang tamu duduk seorang wanita dengan penampilan sangat modis. Rambut panjang bergelombang dengan taburan bling-bling saat cahaya dari luar jendela menerpa kepalanya. Dengan setelan jin ketat dan bluse panjang berwarna coklat tua. Dua orang laki-laki bertubuh gempal berdiri tegak di dekat jendela kaca. Penampilan mereka sangat menyeramkan. Sorot mata wanita itu begitu tajam. Kukunya panjang dan lentik dengan kotek berwarna merah maroon.

“Siapa kalian? Sedang apa di sini?” Adriana bertanya cemas.

Wanita itu menatap dengan sorot mata serupa algojo, “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Wanita Sundal! sedang apa kau di apartemenku?”

Adriana bergeming, ada perasaan kalah dan terkunci seketika menjadi satu.

“Selama ini kalian bersenang-senang di sini, sementara aku menderita menunggu Akhmad yang tidak pulang-pulang, hah! Kautahu wanita pengacau tidak tahu malu?” Wanita itu beranjak dari sofa, perlahan dengan kakinya yang jenjang mendekati Adriana.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi. “Tinggalkan tempat ini, lupakan Akhmad. Atau aku bersumpah akan menghancurkan kehidupanmu dan keluargamu. Seumur hidup kau akan menyesal pernah berhubungan dengan Akhmad!” lengkingnya tepat di telinga Adriana.

Adriana bergidik, pipinya masih terasa perih dan panas. Ia tahu dengan sangat jelas siapa wanita ini, istri pertama Akhmad, sah secara hukum dan agama. Sedangkan ia hanya sebatas simpanan, kapan pun seumpama dibuang, tak berarti apa-apa. Keluarga di kampung taruhannya. Ancaman wanita ini tidak main-main, terlihat jelas dari sorot matanya. Berapi-api. Dua orang bodyguard itu, dengan sengaja memperlihatkan pistol hitam bertengger di pinggang mereka.

Adriana masih membisu, terpaku di lantai ubin putih. Berpikir sejenak, haruskah dia memberitahu Akhmad?

“Kemasi barangmu, segera tinggalkan tempat ini!” lengking wanita itu lagi. Adriana bergegas menuju kamar. Masih hangat hari-hari indah merajut kasih bersama Akhmad. Bahkan aroma tubuh Akhmad seakan-akan melekat di atas kasur tempat mereka memadu asmara. Air matanya luruh. Pipi merahnya seketika basah, betapa Adriana ingin menjerit, menangis sejadi-jadinya bahkan merutuki diri sendiri.

Hanya beberapa lembar pakaian yang ia masukkan ke sebuah koper kecil seukuran kabin pesawat. Koper yang sama saat pertama kali menginjakkan kaki di apartement itu. Adriana tahu dengan pasti, suatu hari cepat atau lambat istri Akhmad akan mengetahui hubungan mereka.

Adriana tidak hapis pikir, bangaimana wanita itu memiliki kunci apartement ini?

“Sekali saja aku dapati kau masih bertemu dengan Akhmad, aku bersumpah, aku bersumpah kau tidak akan bertemu dengan adik dan ibumu, Adriana!” kecam wanita itu seolah menahan gumpalan amarah yang terus meletup.

Lihat selengkapnya