Kami baru saja pulang dari sekolah ketika dua mobil besar keluar dari pekarangan rumah. Tidak begitu jelas siapa sosok-sosok di dalamnya karena tertutup rapat kaca riben hitam. Kutepis pikiran tentang kemungkinan tamu Ni Imah. Halaman kami cukup luas, tetangga yang tidak memiliki cukup tempat bisa saja menumpang memarkir kendaraanya.
“Sepertinya ada orang yang bertamu ke rumahmu, Mikaela,” Edwin berhenti sejenak. Mata kami bersamaan melepas kepergian mereka.
Sebuah mobil besar berwarna kuning menyala cukup menarik perhatian—Hummer. Ukurannya tentu saja lebih besar dan kokoh dari jeep biasa. Alan pernah bercerita tentang mobil jenis itu. Produksi luar yang didatangkan langsung dari Detroit, Michigan, Amerika Serikat. Di kota kami, mobil seperti itu sudah bisa dipastikan milik para pengusaha tambang. Harganya menyaingi satu bukit yang isinya batu bara semua.
“Mungkin tamu tetangga,” kilahku. “Kaumau masuk?”
Edwin turun dari motor. Kami berjalan perlahan lalu menapaki anak tangga. Kedua daun pintu terbuka lebar. Senyap. Ni Imah duduk di kursi rotan panjang, tertunduk lesu menggenggam sesuatu. Tatapannya sayu.
“A-da apa, Ni?” Aku bertanya dengan ragu. Beningan kristal mulai berjatuhan dari sudut matanya. Jemarinya menarik ujung kerudung, menyeka buliran kristal yang mulai membasahi pipi.
“Aku pulang dulu, Mikaela,” Edwin meninggalkanku yang masih mematung menatap Ni Imah.
“Dia perempuan sangat baik. Dia masih sangat muda,” Ni Imah kembali menyeka air mata dengan ujung kerudung.
“Siapa yang Nini bicarakan?”
“Malam itu, gerimis seharian membasahi kampung kita. Badrudin membawa seorang perempuan yang nyaris pingsan di selasar masjid. Dia meminta Nenek untuk merawatnya. Perempuan cantik dan rajin.
Beberapa bulan kemudian perempuan itu melahirkan bayi. Putih bersih dan sangat cantik.” Ni Imah mengedarkan pandangan ke luar jendela.
“Kami mengasihinya seperti keluarga sendiri. Sangat disayangkan, usia ibunya tidaklah panjang.”
Deg! Dadaku bergemuruh. Tanpa Ni Imah beritahu pun aku bisa menebak, siapa wanita yang dimaksud.
Ni Imah menyerahkan foto dari tangannya. Jemariku bergetar meraih lembaran itu. Kertasnya sedikit usang karena termakan usia. Tampak seorang perempuan berkebaya putih dengan sanggul dan riasan sederhana. Terlihat sangat cantik dan bahagia. Di sampingnya seorang pemuda gagah dengan penampilan bersahaja memakai setelah jas abu-abu. Samar, guratan dari wajah-wajah dalam foto ini seperti mengingatkanku dengan seseorang.
Otakku dipaksa berpikir lebih keras, di mana gerangan melihat kedua sosok tersebut. Perempuan ini apa dia Ibu? Aku tidak pernah memiliki fotonya secara langsung, Ni Imah hanya mengatakan, kami sangat mirip. Aku terlalu kecil untuk mengingat secara jelas wajah Ibu. Jika benar, siapa laki-laki di sampingnya ini? Ia seperti ….
“Tengoklah nama pemilik foto di belakangnya,” pinta Ni Imah. Berkali-kali Nini menyeka air matanya yang terus tumpah. Kubalik lembaran foto perlahan. Tulisan tangan dengan ukiran tegak sambung berwarna hitam, ‘Adriana & Akhmad Jamaluddin.’
Rasanya petir sedang menyambar-nyambar di atas atap. Seketika godam menghantam dada. Kuperhatikan lagi dengan jelas. Mungkinkan salah tulis atau salah baca. Napas terasa sesak. Sangat sesak. Apa benar ini foto Ibu? Dan Pak … Ya Tuhan, Ini tidak mungkin. Aku menutup mulut. Air mata menyesak keluar. Tidak ingin mendengar apa pun tentang sosok laki-laki pada foto ini. Tidak mungkin!
“Pak Jamal Abah pian, Mikha. Abah kandung.” Ni Imah seolah ingin memperjelas segala tanda tanya yang terus merayapi pikiran. Tubuhku bersimpuh di lantai papan. Tuhan, biarkan telinga ini menjadi tuli, jika yang kudengar hanyalah kepedihan menyayat-nyayat.
“Bagaimana mungkin, Ni. Ini tidak akan mungkin. Ini Cuma bohongan, ‘kan?” Air mataku berderai. Perih. Dada terasa nyeri.
“Selama belasan tahun, Pak Jamal mencari Ibumu yang menghilang saat dia sedang tugas di Surabaya,” suara Ni Imah kembali terisak.
“Ibumu memang istri kedua, tapi Pak Jamal sangat menyayanginya. Ibumu sendiri pernah cerita ke Nini, tidak ingin merusak rumah tangga suaminya, kemudian memilih pergi. Hingga malam itu ditemukan Badrudin. Kau sudah bertemu beberapa malam lalu saat pesta penutupan di kota, bukan? Dia sungguh tidak percaya melihat kemiripan wajah kalian. Tugas Nini sudah selesai, saatnya kaukembali ke keluarga aslimu.”
“Tidak, Ni. Rumahku di sini, aku tidak peduli siapa mereka. Aku tak butuh orang itu, aku hanya butuh Nini,” sergahku seketika.