Hampir setiap hari Siti ke rumah, memastikan kapan aku siap untuk pindah. Dia membujuk dan mengiba. Bahkan bersekongkol dengan Alan agar merayuku agar bersedia tinggal di rumah Pak Jamal. Padahal Alan dan aku sama murkanya dengan orang itu. Bagaimana rasanya jika orang yang kaubenci nyaris sepanjang hidupmu dan ingin sekali kaulenyapkan dari muka bumi ini ternyata adalah orang yang membuatmu hadir ke dunia?
“Selama ini kita memang hanya mendengar tentang keburukannya, Mikha,” ucap Alan beberapa waktu lalu. “Benar kata Edwin, kau harus mengenalnya secara langsung. Kau hanya akan benar-benar tahu sifat dan karakter Pak Jamal sesungguhnya jika telah dekat. Setidaknya, sampai detik ini Siti dan keluarganya dalam keadaan aman.”
“Tapi, Lan. Aku sungguh takut. Kauyakin Pak Jamal benar-benar menginginkanku dan menganggap sebagai anaknya? Bagaimana jika ada hal lain yang tidak kita ketahui. Mungkin dia punya rencana buruk? Mungkin dia ingin menjualku kepada sesama bos batu bara?”
“Seujung jari saja dia menyakitimu, akulah orang pertama yang akan menyeretnya ke tiang gantungan.”
Kuhela napas lebih dalam. Memikirkan segala kemungkinan. Butuh waktu tidak sebentar, sampai hati mantap menerima ajakan mereka yang katanya keluarga. Selama seminggu, bolos sekolah. Kesehatanku cukup memprihatinkan. Keenam para sahabat paling setia dan bawel selalu berkunjung ke rumah.
Seperti hari ini, mereka datang membawa aneka makanan dan buah-buahan. Dan boneka. Menyebalkan.
“Mikha, cepatlah sehat, sekolah lagi. Kami sangat kehilangan,” Amelia berkata seraya menyodorkan semangkok lontong berkuahkan sayur nangka muda dan sebiji telur rebus utuh bersiram sambal masak habang. Enak sebenarnya, tapi aku sedang tidak berselera.
“Sepi sekali di kelas, Mi. Tidak ada yang menggodaku,” Elesha bahkan memijit punggungku.
“Apa kaubutuh pasukan berkuda untuk mengantar ke tempat Abahmu?” tawar Alan.
“Ka-ka-mi siap mengawalmu,” Rustam memasang badan.
Edwin tak mengatakan sepatah kata pun. Tangannya bersedekap sambil terus menatapku.
“Kalau aku pindah, otomatis jarak ke sekolah semakin jauh,” balasku tak bersemangat, mengedarkan pandangan ke arah Alan dan Edwin. “Apa aku masih bisa menumpang motor dengan salah satu dari kalian?”
“Astaga, Mikha. Pak Jamal itu garasi rumahnya macam show room mobil lagi ngadain pameran, tinggal tunjuk satu mau pakai apa,” seloroh Alan.
“Ih, macam pernah saja ke rumah Pak Jamal,” sela Arsyad.
“Kata Paman Bani begitu, dia pernah motongin rumput halaman rumah Pak Jamal,” sahut Alan lagi sambil mengangkat kedua bahunya. Aku bergidik.
***