Dia berdiri di ambang pintu dengan tatapan lekat. Perlahan ayunan kakinya mendekat. “Boleh Abah memelukmu?” ucapnya penuh wibawa.
Aku berdiri tepat di hadapannya tanpa berani melihat secara langsung. Tubuh rasanya kaku saat kedua tangannya mendekap erat. Sedikit canggung, risi, tak tahu harus berbuat apa. Dua orang laki-laki yang pernah memelukku adalah Bapak Badrudin dan Edwin. Dengan Pak Jamal, seperti ada dinding penyekat di antara kami.
“Seandainya Abah tahu sejak dulu, kita tidak akan berpisah selama ini,” dia berkata kembali dengan suara parau tertahan. Dan sekali lagi, aku tidak tahu kalimat apa yang harus terucap. “Kamu benar-benar mirip Ibumu, Nak.. Andai saja Adriana masih hidup, rasanya sempurna sudah kebahagiaan Abah.” Mata Pak Jamal sedikit berembun. Apa dia benar-benar kehilangan Ibu? Bukankah dia telah memiliki ganti sebanyak enam orang? Apa artinya Ibu buat dia?
“Jika kamu, butuh apa pun, bicaralah pada Abah,” ucapnya lagi sambil mengelus rambutku.
“Aku merasa sudah memiliki segalanya, A … a-bah,” jawabku tergeragap. Rasanya sangat aneh, janggal, tidak biasa dengan sebutan itu bahkan tidak pernah terucap sebelumnya.
“Abah, panggil Abah. Lama-kelamaan kamu akan terbiasa. Abah akan menunggu, tapi tolong jangan lama-lama.” Pak Jamal membiarkanku sejenak di kamar kemudian berlalu saat seorang laki-laki tua memanggilnya.
Kubuka lemari untuk menaruh sebagian baju-baju dari tas. Mataku terbelalak. Lemari sudah penuh gaun, rok, kemeja. Sebelahnya lagi deretan sepatu, tas dengan aneka model. Apa ini semua untukku?
“Kau menyukainya?” Aku kembali terperanjat, Siti telah berdiri di depan pintu. “Maaf pintunya tadi terbuka. Kulihat kau tampak kebingungan,” katanya lagi menghampiri. “Aku yang memilihkannya, semoga cocok dengan seleramu.”
“Banyak sekali, ini semua untukku?” jawabku tergeragap sambil mengeluarkan beberapa gaun, memadankan ke tubuh. Dulu hanya membeli baju menjelang lebaran. Itu juga tidak harus, tergantung keuangan Ni Imah.
“Ini belum seberapa, kautahu baju-baju istri Pak Jamal? Sudah seperti toko pakaian saja, semarak, dan wah.” sergahnya.
“Kaubetah di sini?”
“Uhm, iya, keluargaku juga kadang mampir.”
“Apa dia memperlakukanmu dengan baik?”