Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #24

Pantai Batakan

Di luar sana terdengar burung saling sahut, tapi di rumah begitu senyap. Aku bahkan bisa mendengar detak jarum jam, juga semilir angin yang menerobos pada celah jendela. Kutatap halaman dari balik kaca, terlihat Siti sedang sibuk menata taman. Abah, tentu saja sedang membaca koran. Ritualnya setiap siang setelah makan, di teras rumah dengan segelas kopi arabica. Aku suka memperhatikannya dari kejauhan, ingin mendekat tetapi selalu sungkan.

Uma lain sedang pergi ke rumah orangtua atau berkumpul bersama kerabat. Maklum saja, nanti malam adalah pergantian tahun. Bagi mereka yang berkantong tebal akan mengadakan private party.

Di sini, masih dalam suasana duka, belum genap 40 hari meninggalnya Nyonya Badriya. Aroma kapur barus masih tercium. Karangan bunga terus berdatangan, terpajang rapi di depan pagar juga samping rumah. Sebagian layu dan disingkirkan. Andai saja mereka memberi tanaman hidup, aku yakin pekarangan sudah serupa kebun bunga.

Biar aku ceritakan bagaimana sosok Pak Akhmad Jamaludin itu. Beliau orangnya kalem, penuh wibawa tak pernah berbicara keras apalagi tertawa lepas. Kalau sedang makan kunyahannya pelan sekali. Seolah-olah sedang menyesapi setiap rasa yang menyentuh lidahnya. Setiap ada undangan pesta tak pernah lebih dari satu jam hadir. Jika perayaan pernikahannya berhari-hari lebih ingin menggembirakan penduduk desa. Kapan lagi orang-orang kampung seperti kami ini menikmati makan sepuasnya berhari-hari sambil menonton artis ibu kota.

Jika diperhatikan lagi lebih cermat, kawan akrab beliau itu-itu saja. Aku bisa menghitungnya dengan menggunakan jari tangan. Namun yang mengaku teman banyak, bahkan antri-antri jika ingin bertemu, apalagi jika ada kepentingan.

Aku berguling-guling mencari posisi nyaman sambil memanandang foto Edwin, mengelusnya perlahan, membayangkan andai saja dia di sini. Rindu. Lamunan seketika buyar saat terdengar ketukan. “Boleh Abah masuk, Nak?” Buru-buru kuselipkan foto ke bawah bantal.

“Iya, Bah. Masuk saja.” Beliau berdiri masih dengan gulungan koran di tangan.

“Ada teman-temanmu di bawah.”

Aku segera bangkit, menerbitkan seulas senyum. Abah tertawa kecil. Entahlah, apakah Abah mengetahui hubunganku dengan Edwin atau belum. Langkahku bergitu cepat menuju teras. Alan, Rustam, Arsyad, Amelia, dan … Edwin.

Ya Tuhan, betapa rindu dengan sosok bermata biru itu. Selama tinggal bersama Abah, untuk ke sekolah memang ada yang mengantar dan menjemput. Namun tidak begitu leluasa bermain bersama mereka, tidak bisa keluyuran apalagi malam hari. Aku rindu lapangan kota, rindu dikejar mobil patroli lalu bersembunyi di belakang sekolah yang remang.

“Perasaan kau tambah kurus, Mi,” celetuk Amel sambil memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Apa mereka tidak memberimu makan?” sambungnya lagi.

“Bagaimana tidak tambah kurus dengan rumah sebesar ini. Alamak … aku kira seluruh karbonya sudah terbakar hanya untuk keluar masuk kamar,” tukas Alan, kakinya bersilang dengan tangan merentangkan di antara sendaran sofa sambil memindai keadaan sekitar.

“Bersiaplah, kita akan ke pantai,” ucap Amel kemudian duduk mengapit.

“Benarkah? aku harus ijin dulu sama Abah,” balasku lagi mengedarkan pandangan ke Edwin yang terus memperhatikan.

“Edwin sudah memintakan ijin untukmu. Kautahu, beliau sepertinya sangat menyukai calon mantunya ini.” Amelia melirik ke arah Edwin. Segera kudaratkan cubitan ke lengannya.

“Elesha mana?”

“Dia harus menjaga ibunya, sakit lagi. Beberapa hari ini mogok makan.”

“Ya Tuhan, kita tidak menjenguknya dulu?”

“Kami sudah menjenguknya kemarin waktu ingin mengajak Elesha pergi. Kautahu, hampir saja piring berterbangan kalau tidak ditahan pamannya,” Amelia bercerita dengan wajah sedih.

“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”

“Semula pamannya hendak membawa ke Banjarmasin agar bisa dirawat di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, tapi Elesha menolak. Katanya tidak tega, dia ingin merawat ibunya sendiri.” Kasihan sekali Elesah, semuda itu harus menghadapi kehidupan yang sulit.

Aku bergegas menuju kamar. Abah masih di dalam sedang memegang foto yang aku selipkan di bawah bantal tadi.

“Maaf, Abah tidak sengaja melihat foto ini,” ucap Pak Jamal, maksudku Abah. Beliau menyerahkan kembali foto itu, foto kebersamaanku dengan Edwin sewaktu di studio dulu.

“Dia pemuda baik, dan sepertinya sangat mencintaimu, Nak.”

“Ehm ….” Apa yang harus aku jawab?

“Abah bisa merasakan dari sorotan matanya ketika menyebut namamu. Semoga kelak dia bisa melindungimu, Nak.”

“Apakah perasaan itu sama seperti ketika A-bah bertemu dengan Ibu?”

Lihat selengkapnya