Formasi kami berubah, kali ini giliran Edwin di belakang kemudi. Dia seakan mengerti, Arsyad tidak bisa konsentrasi secara penuh. Aku bersama Amel di kursi tengah tidak tahu harus berbuat apa selain menggenggam tangannya erat mencoba memberi kekuatan.
Sangat sulit melewati kerumunan massa yang menyemut di area sepanjang pantai. Bunyi klakson dari mobil kami seolah tenggelam dengan klakson-klakson lain, juga letusan kembang api yang terus menggema. Hiruk piruk gegap gempita mengangkasa membuat suasana semakin gaduh.
Amel mencengkeram tanganku, beberapa kali tubuhnya menggeliat mencari posisi paling nyaman. “Rasanya perutku semakin sakit, Mi.”
“Sabar ya.” Kutatap Amel dengan perasaan campur aduk. Buliran-buliran keringan sebesar biji jagung mulai bercucuran. Sesekali terdengar lenguhan menyayat-nyayat. Ditariknya napas dalam-dalam meredam segala sakit yang mendera seraya menggigit bibir.
Mobil terus merayap dan masih terjebak macet di kawasan pantai. Rustam, Arsyad, dan Alan sepakat turun. Dihalaunya orang-orang itu agar memberi jalan. Setelah perjuangan yang tidak sebentar akhirnya kami berhasil keluar area. Beruntung, selepas itu nyaris di sepanjang jalan terlihat senyap. Edwin melajukan mobil seperti di arena balapan. Walau dalam keadaan darurat, dan tentu saja kilometer kecepatan di atas rata-rata, dia kelihatan santai menyetir mobil.
Kami tiba di rumah sakit Ulin Banjarmasin yang terletak di Jalan Akhmad Yani. Suasana masih sepi. Alan dan Arsyad terpaksa membopong Amel karena terus mengeluh kesakitan. Edwin menuju loket, disusul beberapa perawat wanita membawakan kursi roda dengan tergesa.
Amel langsung dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat. Hanya ada dokter umum di sana. “Bukaan lima,” ucap sang dokter yang mengenakan kacamata sesaat memeriksa dan melepaskan sarung tangan. Kami berpindah ke ruang bersalin.
“Mi, sakit sekali!” Wajahnya semakin pucat. Bibir merah yang biasa membingkai indah terlihat lebih biru. Gigi-giginya terus bergemelatuk. Amel merintih dan terus mencengkeram jemariku. Buliran air mata kembali membasahi pipi indahnya,
“Apa yang bisa aku lakukan, Mel?” Amel yang akan melahirkan kenapa aku begitu ketakutan. Kaki rasanya gemetar, belum lagi kontraksi Amel seperti sampai ke perutku.
“Punggung dan pinggangku pegel banget, Mi. Sudah susah posisinya.” Kuusap lembut sudut matanya dan memberikan pijitan ringan pada punggung Amel. Sesekali dia terlentang, kemudian miring ke kiri, tidak berapa lama ke kanan. Saat terdengar lenguhan pilu, tubuh Amel seketika mencangkung.
Beberapa perawat bolak balik memeriksa. Penderitaan Amel meningkat seiring bertambahnya bukaan. Pantas saja Mak Romlah pernah melarang anak perawan mendampingi orang melahirkan. Nanti trauma, katanya. Belum lagi drama-drama pilu seputar melahirkan. Dari sini saja sudah begitu terasa. Kematian itu hanya sejengkal, surga itu benar-benar dekat, ia berada di bawah kaki ibu. Rasanya aku ingin segera bersimpuh di kuburan Ibu.
“Suster, apa tidak ada cara untuk mengurangi rasa sakit?” Aku memohon iba kepada seorang perawat saat memasang tensemeter ke lengan Amel.
“Ini normal, Dik. Namanya juga orang mau lahiran. Semakin sakit itu berarti bayinya udah tidak sabar ingin ketemu mama papanya. Dia sedang membuka jalan lahir. Ngomong-ngomong papanya tidak mau ikut nungguin?”
“Nggak, Sus. Di luar, kasihan nanti pingsan liat darah banyak,” balasku seketika.
“Dokter kandungan sedang di perjalanan. Sebentar lagi sampai.” Suster itu kemudian berlalu. Amel merintih. Buliran keringan terus membanjiri kening dan seluruh tubuh.
“Sakit, Mi, sakit … arrrggghhh … SAKIIITTT!!!” Amel mengerang. Aku kembali bergegas ke ruang perawat, mengabarkan kondisi Amel. Dua orang suster kembali memeriksa.
“Tahan sebentar ya, Bu.”