Seperti ada lembaran-lembaran kepedihan setiap menyentuh apa pun yang berhubungan dengan Ibu. Di dalam kotak ini kutemukan foto-foto Ibu bersama rekan kerja mengenakan seragam hitam dengan rok selutut. Rambut Ibu digulung sederhana. Ibu tersenyum begitu bahagia. Kutemukan pula gelang mutiara, dan sebuah kalung. Kotak musik berhias sepasang angsa kecil. Iramanya begitu syahdu. Apakah ini kado dari Pak Jamal? Mataku kemudian tertumpu pada sebuah buku cukup tebal dengan cover kulit berwarna coklat tua.
Sebuah catatan tersusun rapi. Ibu senang menulis dan membuat puisi. Diceritakannya banyak hal, tentang kedatangannya pertama kali di Banjarmasin lalu pertemuannya dengan Abah di sebuah restoran hotel. Pertemuan tidak pernah dia lupakan saat meninggalkan Warung Telepon setelah mendengar kabar sedih dari kampung. Sebuah motor bahkan hampir saja menyerempetnya. Selepas itu kembali bertemu Abah yang mengajaknya makan malam di sebuah tenda. Aku tersenyum bersamaan deraian air mata. Abahlah yang membantu kepulangannya ke kampung halaman, dan membiayai seluruh pengobatan bibi. Segala kebaikannya membuat Ibu luluh dan menerima pinangan Abah. Buku ini telah menyeretku masuk ke dunia Ibu belasan tahun silam.
Ibu, aku rindu. Sangat rindu.
Kita ini Hanya
Remah-remah…
Ya, kita hanya remah.
Butiran kecil dari partikel di bumi
Saling mendekat, bersentuhan, berpadu dalam pelukan,berpilin, lalu liat jadi satu, hingga lumat, lekat dan erat
Meski ringkih, kita paksa keadaan untuk berdiri
Acapkali membakar reranting asmara lewat sela-sela jari
Pasrah ditabur kasih pada tiap hela-hela napas yang melenguh lepas
Menenggak ranumnya kisah pada alur-alur papila
Kita sepakat mengecap cinta
Racun serupa gula yang membuat kita merasa kuat meski lemah, merasa sempurna meski compang camping bertabur salah.
Sungguh, kita hanya remah-remah
Hanya tanah
Dimana benih mampu tumbuh
Dan, pada tanah ini
Remah itu berdenyut lemah, mengemis iba
Adriana
Pada Rahimku
Itulah tulisan terakhir ketika Ibu menyadari dalam rahimnya bersemi buah cintanya dengan Abah.