Berat sekali membuka kelopak mata. Seluruh persendian terasa remuk. Sesaat otakku blank, mengingat-ngingat kembali yang telah terjadi. Di mana ini? Ruangannya begitu sejuk. Temaram lampu menempel di plafon berwarna putih tulang.
Kuedarkan pandangan tepat ke samping. Pergelangan tanganku telah berbalut perban. Ada Edwin di sana, kepalanya menelungkup di samping kasur. Separuh badannya di kursi. Kedua tangannya mengunci jemariku erat.
“Edwin.”
Matanya terlihat masih lelah. Ia mengerjap perlahan, “Mikaela, bagaimana keadaanmu?” Edwin bangkit memperbaiki posisi hingga bersisian denganku.
“Di mana ini?”
“Di kamarku.”
“Abah?”
“Mereka sedang mencari kabar, dan akan segera memberi tahu. Sementara kau aman di sini?”
Menurut penuturan Edwin, dia sedang berkumpul bersama temannya di daerah Binuang saat sirine pemadam kebakaran mulai meraung-raung memecah jalanan. Dari pantauan radio orari di rumah temannya itu, tersiar berita gedung perusahaan Pak Haji Jamal mengalami kebakaran besar. Edwin meluncur mendatangi kediaman kami, dan bergegas sewaktu mendapat informasi dari penjaga rumah kalau aku dan Abah sedang berada di perusahaan.
Edwin langsung mendatangi lokasi kejadian, api sudah membumbung tinggi menghanguskan hampir seluruh bangunan. Beberapa penduduk ikut memadamkan kobaran api dengan peralatan seadanya. Beberapa jam sebelumnya, seorang penduduk kampung mendengar suaraku dari dalam gedung berinisiatif menggunakan boldozer guna membobol tembok gudang saat mereka kesusahan membuka pintu besi. Edwin mendapatiku dalam keadaan pingsan di rumah penduduk tidak jauh dari lokasi kejadian.
Sementara ini, area perusahaan sedang dalam penyelidikan. Edwin meminta Paman beserta jajarannya agar membiarkanku beristirahat sampai keadaan cukup tenang. Abah sendiri belum diketahui secara pasti keberadaannya. Pihak berwajib masih melakukan investigasi secara intensif.
“Ha-us.” Edwin mengambil botol minuman dingin di kulkas mini yang terletak di samping lemari kayu.
“Minumlah.” Seketika kesejukan menjalar di tenggorokan. “Apa kau juga lapar?” Edwin menyibak helaian rambutku ke belakang telinga. Ia menatap begitu lembut.
“Sedikit.”
“Tunggu sebentar, biar aku persiapkan.”
“Aku ikut?”
“Kau yakin?”
“Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit letih.”
Edwin memapahku menuju dapur. Langkah pertama cukup berat, selanjutnya semua menjadi biasa. Rumahnya tidak terlalu besar. Berlantai satu dan lebar. Beberapa pigura dengan sosok mengenakan seragam kebesaran seperti seorang jenderal. Terlihat pula guci keramik besar di beberapa sudut ruangan.
“Kenapa begitu sepi?”
“Paman sama Tante sedang ada urusan di luar. Hanya ada Bibi, mungkin juga sedang keluar.”
“Kita hanya berdua?”
“Kenapa? Takut?” Dia melirikku dan menerbitkan seulas senyuman.
Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan sebenarnya. Semisal bangaimana dia ada di sini. Paman, Tante? Di mana orangtuanya?
Edwin memintaku hanya melihat atraksinya menjadi koki dadakan. Bukan koki sebenarnya, tapi dia bertalenta. Tangannya lihai memecah telor, membalik-balikkan dengan gerakan memutar. Seperti chef internasional. Saat terhidang, omelet berbahan sederhana tersebut terasa begitu istimewa. Aromanya saja begitu nikmat, aku tidak sabar mencicipi masakannya.
“Makanlah.” Edwin memotong omelet berbentuk gulungan. “Apa perlu aku suapin?” sambungnya.