Denting piano terdengar syahdu di ruang tamu. Edwin tenggelam dalam dunia yang dia ciptakan. Jemarinya lincah pada tuts-tuts berwarna hitam putih. Iramanya begitu tenang dan menenangkan, di saat tertentu melengking cepat.
Tante Edwin yang bernama Alicia tiba. Penampilannya rapi, dengan setelan jas berwarna coklat muda. Rambutnya lurus sebahu. Bola matanya lebar, dengan riasan tipis di wajah.
“Hai, Mikaela. Bagaimana keadaanmu? Maaf tante baru datang. Apa Edwin memperlakukanmu dengan baik?” Dia berkata lalu mencium pipiku. Tercium aroma sangat elegan. Sepertinya keluarga ini memang penggemar parfum berkelas.
“Sangat baik, Tante. Dia juga memasakkan untukku.”
Tante Alicia begitu ramah dan hangat. Digenggamnya jemariku erat, mengelus-elus perlahan dan menatap dengan pandangan iba.
“Tante turut prihatin dengan semua yang menimpamu, Mikaela.”
“Terima kasih sekali, Tante. Saya merasa sangat terlindungi di sini.”
“Kamu sangat cantik, Mikaela. Pantas saja Edwin betah tinggal di kota kecil ini. Sudah lama Edwin bercerita tentangmu.” Tante Alicia kembali meraih jemariku dan mengelus lembut.
“Apa di kota sebelumnya tidak ada perempuan yang membuatnya betah, Tante?”
Seketika Tante Alicia tertawa. “Kamu tanyakan saja padanya.” Masih dari kursi piano panjang, Edwin melempar senyum.
Bel berbunyi nyaring. Edwin bangkit, keluar. Ada beberapa lelaki di luar sana, merekaterlibat pembicaraan serius. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Sesekali Edwin melirik ke belakang, seolah ingin menyampai sesuatu yang sangat penting. Tamu itu pergi. Edwin sempat mematung sesaat lalu berjalan mendekati kami dengan wajah cemas.
“Ada apa, Win?” Tante Alicia bertanya.
“Pak Jamal—” Edwin seketika mengedarkan pandangan ke arahku.
“Kenapa dengan Abah?” tanyaku penuh harap.
“Ayahmu akan dikebumikan sore ini.”