Prahara di Langit Borneo

Raida Hasan
Chapter #29

Karindangan

Hari terakhir Ujian Nasional, bangku itu kosong. Kemana Edwin? Seharusnya dia menyelesaikan ujian kali ini. Keresahan kembali menyelimuti hati. Seperti dulu, menghilang tiba-tiba dan datang pun tak pernah diduga. Semoga esok hari dia kembali.

Hari kedua setelah ketiadaannya, kursi itu masih kosong. Tak ada satu pun mengetahui keberadaan Edwin. Bahkan Arsyad yang sering ke lapangan kota, tak melihat batang hidungnya. Lesap, bak ditelan bumi.

Hari ketiga, kosong lagi. Mungkinkah nanti sore dia ke rumah? Sehari lagi mungkin aku akan gila. Alan ikut-ikutan menghilang. Aku, Amel, Arsyad, dan Elesha duduk di teras sekolah. Amelia sibuk berceloteh tentang kelucuan bayinya. Bagiku, cerita itu seperti angin lalu, terdengar seperti dengungan yang berantakan. Otakku terasa kosong dan hampa.

Derai tawa mendadak lenyap. Pandangan kami tertuju pada mobil Land Cruiser berwarna silver mengkilat. Di belakang mobil itu ada Alan mengendarai sepeda motor. Edwin keluar dengan mengenakan jaket kulit coklat. Langkahnya begitu jemawa memasuki halaman sekolah. Betapa rindu membuncah tak tertahankan.

Hei, wajahnya terlihat tegang. Bahkan kulitnya memerah. Telapak tangan kanannya, terbalut perban. Apa dia mengalami kecelakaan?

Alan menyusul di belakang, dia berjalan lambat-lambat. Edwin menatapku tajam seolah memberi kode untuk mengikutinya menuju pohon kecapi tua.

“Kau baik-baik saja?” Kuraih tangannya. Akan tetapi dia mengelak. “Ada apa?”

Edwin menunduk, giginya bergemelatuk seakan-akan memendam sesuatu di dada. Dia membuang wajah mencari jawaban di antara pepohonan lebat di sekeliling sekolah. Sesekali menggigit bibir dan menelan ludah. Sebuah sorotan mata yang hampa terpancar dari retinanya yang basah.

“Apa ada sesuatu yang harus kuketahui, Edwin?” Kutunggu dia menjawab dengan gelisah.

“Aku harus pergi, Mikaela.” Dia berkata tanpa menatap. Masih menerawang jauh di antara pepohonan itu.

“Kemana?” Edwin kembali membisu. “Katakan kau akan kemana, Edwin?” Suaraku bergetar. Tiba-tiba di dalam kelopak mataku membantuk danau.

“Aku tidak akan kembali.”

“A-pa maksudmu?”

“Aku tidak akan kembali, Mikaela. Jangan tunggu aku, apa pun yang terjadi lupakan. Aku menyesal membiarkan hubungan kita sejauh ini.”

Seketika danau itu membentuk genangan dan mengalir di wajah dengan deras. “Edwin, katakan sesuatu apa yang bisa kulakukan untukmu. Aku tidak peduli seperti apa masa lalumu, aku tidak peduli sehitam apa kehidupanmu, aku hanya tahu aku sangat mencintaimu, Edwin. Aku tidak mau hubungan kita berakhir. Aku akan menunggumu. Setahun? Sepuluh tahun? Bahkan seratus tahun. Aku akan setia di sini, kau bisa pegang itu.”

“Aku tidak ingin memberi angan-angan yang sulit untuk diwujudkan. Kau masih sangat muda, jalan hidup kita masih sangat panjang. Berjanjilah, kau akan baik-baik saja tanpa aku, hidupmu akan bahagia. Suatu hari kau akan bertemu dengan orang yang menyayangimu dan dapat melindungimu. Dimana pun aku berada selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Aku akan sangat berbahagia jika engkau berbahagia, Mikaela.” Edwin meraih tanganku, seketika menenggelamkanku dalam pelukannya.

“Jangan katakan itu, ini sungguh melukaiku. Bagaimana jika aku menderita, Edwin. Kau tahu itu pasti terjadi. Jangan tinggalkan aku seperti ini. Aku tidak butuh apa pun, aku hanya ingin kau di sini. Berjanjilah kau akan kembali, aku mohon kembalilah, aku mohon ... aku akan berlutut jika itu bisa membuatmu kembali.”

Edwin mencium keningku beberapa detik, sesaat setelahnya melepaskan pelukannya. Langkahnya menjauh. Aku terpaku di bumi. Hening, bahkan suara burung tenggelam bersamaan sebuah hati dideru ombak kemudian terhempas ke batu karang.

Bukan seperti ini caranya, Edwin.

“Edwinnn!!!” Aku berseru.

“Menjauhlah dariku, MIKAELA!” Rasanya seperti beton besar menghantam dada. Seruan itu, bentakkan itu, membawaku kembali di mana Ibu pernah melakukan hal sama. Lalu pergi untuk selama-lamanya.

Deru mesin menyadarkan anganku. Edwin benar-benar pergi. Aku berlari mengejarnya. Mobil semakin menjauh, mengecil, membentuk titik, dan kakiku terus mengejar, bibirku terus mengiba merafalkan namanya. Sebuah jalan berlobang membuat tubuhku beberapa kali tumbang. Kucoba bangkit dan terus mengejar walau titik itu telah lenyap. Semoga alam berbaik hati membuat titik itu kembali, menarik masuk dan membawaku turut serta.

Semua begitu cepat, hanya ada jejak dan serpihan hati di atas tanah yang terpulung di antara jemari tangan. Aku menangisi ketiadaanya.

Edwin.

Nyeri di dada sungguh tak terperi.

Sakit.

Segumpalan awan seakan menyelimuti seluruh pandangan. Seketika gerhana terasa begitu nyata.

***

Mataku menatap jendela kayu dengan dua daun pintu yang mulai usang. Sesekali terantuk ke papan. Angin pada sore ini terasa begitu dingin. Kersik daun terdengar syahdu. Lihat, aku sudah tidak menangis, mungkinkah air mata ini mulai kering?

“Mikha, Mikha!” Aku tergeragap saat Amelia menyapa. Alan, Rustam, dan Arsyad telah berada di samping. Sejak kapan mereka di sini. Bukankan sedari tadi aku sendirian menatap jendela? Ni Imah juga masih di ladang.

“Apa yang bisa kami lakukan, Mikha? Kami sedih melihatmu seperti ini,” Amelia berkata dan menggenggam jemariku.

Lihat selengkapnya