Enam purnama telah berlalu. November di penghujung bulan.
Pulau Kalimantan berdiri kokoh di atas lempengan Eurasia. Itu berarti ia lebih terhindar dari gempa bumi dan tsunami apabila dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Kami juga tidak memiliki gunung berapi. Jika kau lihat bukit-bukit menyerupai pegunungan, kemungkinan besar berisi batu bara. Bisa juga emas permata. Jika kelak kalian berkenan singgah di sebuah danau sangat indah berair jernih, di sekitarnya banyak pohon rindang, kemungkinan besar ia bekas galian batu bara yang telah lama ditinggalkan.
Hampir setiap hari, puluhan bahkan ratusan truk pengangkut batu bara dari berbagai perusahaan keluar dari kampung ini menuju Banjarmasin. Membawa sejuta cerita penuh drama yang tak pernah usai. Aku sempat berpikir, mungkin di suatu masa negeri ini tidak meng-ekspor batu bara lagi tetapi sebaliknya.
Sementara itu, perusahaan Pak Jamal sepenuhnya dikelola yayasan. Beberapa kawasan bahkan dijadikan tempat wisata dengan memberdayakan penduduk setempat. Jeep-Jeep dialih fungsikan untuk mengangkut wisatawan yang ingin mengenal area pertambangan lebih dekat, kebun karet, juga danau.
Rumah Pak Jamal sendiri menjadi pondok tahfiz Quran yang menampung santri dari berbagai wilayah.
***
“Mikha, ada yang mencari!” seru Ni Imah dari teras. Aku bergegas keluar, meletakkan gagang sapu di samping pintu kamar. Ni Imah beranjak ke dalam. Tampak sosok yang sungguh tidak asing lagi. laki-laki berambut jagung, dikucir kuda. Penampilannya begitu klimis. Berbaju hem coklat dimasukkan ke dalam celana jin longgar. Dia juga mengenakan sepatu kets. Tubuhnya begitu wangi, aromanya bahkan telah tercium ketika aku masih di dalam tadi.
Dia berbalik, memperlihatkan sebuah lengkungan senyum. Aku terkikik geli.
“Jangan menertawakanku seperti itu, Mikha.” Dia salah tingkah.
“Sejak kapan kau mengubah penampilanmu?”
“Sejak tadi pagi, he he.” Dia nyengir kuda, memperlihatkan barisan giginya yang tidak putih. “Bisa kau membantuku?”
“Apa?”
“Makku bilang, selama setahun aku boleh tidak membagi pajak turihan, jika sukses mengajakmu pergi hari ini.”
“Oh ya, jadi?”
“Kau bersedia?”
“Apa ini semacam ajakan kencan?”
“Seperti itulah bunyinya.”
“Hem ….”
“Jangan kelamaan mikir. Hari ini penutupan Pameran di lapangan kota.”
“Aku ijin dulu sama Ni Imah. Uhm … Ni!!!”