Prahara di Langit Borneo

Raida
Chapter #31

Kejora

Malam kian larut, Alan mematikan mesin motor agar tidak terdengar gaduh dan menggeret memasuki pekarangan rumah Ni Imah.

“Alan, apa kau ingat saat pertama kali aku masuk Sekolah Dasar? Bapak tidak bisa mengantar karena ada keperluan di kantor kelurahan. Ni Imah juga sedang tak enak badan.”

“Tentu saja aku mengingatnya, Mikha. Aku membujukmu agar masuk kelas. Kau bersembunyi di belakang punggungku.”

Pada hari itu, Alan kecil memakai sepatu tanpa kaos kaki. Mengendarai sepeda Maknya agar kami bisa berboncengan. Setiba di sekolah aku malah gemeteran melihat begitu banyak orang. Nyaris saja balik ke rumah kalau Alan tidak menangkap tanganku dan menuntun memasuki ruang kelas.

“Mikha, ayo masuk!”

“Enggak mau, aku takut, Lan.” 

“Jangan takut, aku akan menjagamu. Nggak akan ada yang berani mengganggu. Kalau ada yang macam-macam ia harus berhadapan dengan Alan,” balas Alan kala itu sambil membusungkan dada. Rasanya aku ingin kencing di celana. Tidak pernah kulihat orang sebanyak itu. Semua anak diantar ibu atau ayah mereka.

Alan menggenggam jemariku erat seolah memberikan segala kekuatan dan menggeretku memasuki kelas.

“Di sini saja, Lan. jangan kemana-mana,” pintaku sewaktu Alan ingin beranjak pergi. Alan kecil dengan pakaian putih yang sudah kecoklat-coklatan itu akhirnya berdiri tepat di samping kursi.

Namun tiba-tiba, Ibu Fatma guru wali kelas satu tiba. “Hei kau, anak kelas empat. Sedang apa di sini?’ hardik Bu Fatma.

“Saya jagain adik, Bu.”

“Adik ndasmu, sejak kapan kau punya adik? Keluar sana!” Bu Fatma mengusir Alan karena ngotot bertahan di kelas satu. Lalu aku terisak, seperti anak ayam akan ditinggakan sang induk.

“Aku menunggumu di luar, Mikha. Jangan sedih,” seru Alan berusaha menenangkan. Ia berdiri tepat di samping jendela. Hanya beberapa menit, terlihat Pak Sanusi menjewer Alan.

Masa-masa itu seakan baru kemarin terjadi. Tiba-tiba saja kami sudah sebesar ini.

“Aku juga masih ingat luka yang harus kau terima saat berkelahi dengan empat orang kakak kelas, Lan,” gumamku.

Saat itu, masih di sekolah. Alan kecil menghampiriku yang sedang menangis sesegukan di samping kamar mandi. “Mikha, kau kenapa?”

“Mereka menyingkap rokku.” Isakkku semakin dalam menceritakan kronologis kejadian. Wajah Alam memerah menahan amarah. Darah seolah mendidih hingga ke ubun-ubun. Alan beranjak dan memanggil semua murid yang telah melakukan tindakan tak senonoh itu. 

Alan berkelahi habis-habisan, tak peduli lawannya lebih besar dan jumlahnya yang tidak sedikit. Tubuhku bahkan bergetar hebat karena takut dan ngeri melihat perkelahian mereka.

Hari itu, Alan benar-benar berubah menjadi personel salah satu Power Rangers walau pada wajah dan tubuhnya tertinggal jejak lebam. Baju Alan bahkan kotor dan sobek. Teman-teman bukannya melerai malah menyoraki. Hingga Pak Sanusi datang dan Alan mengajakku pulang lebih awal. Di rumah, Mak Romlah terbelalak, sampai mau copot jantungnya.

“Kenapa kau, Lan? Berkelahikah?”

“Iya, Mak. Sama anak kelas enam. Empat orang, Mak”

“Astaga, pasal apa kau jadi berkelahi, Lan.”

“Mereka nyingkap rok Mikha, Mak.”

“Berandal, beraninya mereka sama perempuan. Kuwalat baru tahu rasa.”

“Aduh, pelan-pelan, Mak. Sakit.” Mak Romlah membersihkan memar-memar di wajah dan tubuh Alan dengan handuk dan semangkok air hangat.

“Emosi Emak. Kauhajar habis-habisan kah mereka, Lan?”

“Satu orang giginya rontok, satu orang kepalanya benjol, dua orang lagi aku lupa, Mak. Yang kutahu, nangis semua mereka.”

“Jantan. Itu baru anak Emak. Habis ini kau ikut latihan kuntau[1] sama Pak Salim, siapa tahu mereka menuntut balas. Hanya banci yang sukanya main keroyokan.”

Keesokan harinya, Mak Romlah dipanggil ke kantor kepala sekolah dan bertemu dengan Mak lain. Bukannya berdamai mereka malah saling serang.

“Didik anakmu biar jadi bener!” maki salah satu Mak di sana berapi-api.

Lihat selengkapnya