Kuda jantan itu berlari cukup kencang. Dengan kakinya yang kekar dia menaiki bukit, melewati jalan setapak yang masih rimbun oleh semak belukar. Dia seorang prajurit, usianya baru empat belas tahun, masih begitu muda, namun semangat dan keberaniannya tidak kalah dengan prajurit-prajurit lain yang lebih besar dan lebih tua usianya dibandingkan dirinya. Tubuhnya yang kecil terguncang-guncang di atas kuda yang berlari semakin kencang.
Sebenarnya dia bukan seorang penunggang kuda yang handal. Baru beberapa bulan ia bergabung dengan tentara PETA atau Pembela Tanah Air, sebuah organisaasi militer yang dibentuk oleh pemerintah militer pendidikan Jepang di Indonesia. Tentara ini dibentuk untuk tujuan memperkuat Heiho yaitu Pasukan Pembantu Prajurit Jepang. Sebenarnya, awalnya ia ingin bergabung dengan Heiho, seperti kebanyakan anak laki-laki yang terpesona melihat alangkah gagahnya melihat tentara berseragam, namun karena ia baru berusia empat belas tahun maka ia tidak bisa bergabung untuk menjadi prajurit heiho sebab salah satu syarat menjadi tentara Heiho adalah berusia minimal delapan belas tahun. Ia akhirnya bersedia bergabung menjadi giyuhei atau prajurit dengan harapan kelak bisa menjadi bagian dari Heiho.
Karena tubuhnya yang kecil maka budanco (komandan regu) tidak memerintahkannya untuk memegang senjata. Ia masih dianggap seperti anak bawang, terlebih usianya baru empat belas tahun, sedangkan kawan-kawannya anggota prajurit PETA yang lain rata-rata minimal berusai delapan belas tahun. Oleh karena itu, budanco dan juga tentara-tentara yang lainnya biasa memberinya tugas ringan seperti membantu menyiapkan pelaralatan atau membantu di bagian logistik.
Namun hari ini Raswadi mendapatkan tugas yang berbeda dari biasanya yaitu ia diperintahkan untuk mengantarkan sebuah surat pada budanco PETA yang bermarkas di desa Penggarit. Biasaanya giyuhei senior yang melakukan tugas ini, akan tetapi kebetulan giyuhe itu sedang berhalangan karena mendapatkan tugas yang sama namun tempat tujuan yang berbeda. Setelah dipertimbangkan akhirnya tugas ini dipercayakan kepadanya karena melihat sifat berani yang dimiikinya, juga karena badannya yang kecil dinilai cukup lincah untuk menunggang kuda dengan cepat. Dia juga adalah anak pribumi yang tentunya sangat mengenal seluk-beluk wilayah desa Penggarit sehingga tidak susah baginya untuk menemukan lokasi yang dimaksud oleh budanconya itu.
Bagi Raswadi ini adalah pertama kalinya ia menuggang kuda dengan jarak yang sangat jauh, melewati beberapa dusun, juga harus menembus perbukitan menuju hutan Penggarit. Tentu saja sebelumnya memang ia telah diajari bagaimana menuggang. Kuda. Salah seorang tetangganya memiliki kuda yang digunakannya sebagai penarik dokar, yaitu kereta kuda yang biasanya digunakan untuk menarik penumpang ke pasar. Itulah sebabnya budanco pasukan memberinya tugas untuk mengantarkan surat ke pada budanco PETA yang berada di Desa Penggarit.
Ada rasa cemas yang menggelayuti perasaannya, ini pengalaman pertama baginya melaksanakan tugas yang baginya berat. Ia berusaha menguatkan keberanian yang ia miliki. Sebisa mungkin ia yakinkan diri bahwa ia mampu, akhirnya ia menunggang kudanya menembus pagi buta. Orang-orang sebagian besar masih terlelap. Memilih menutupi tubuhnya dengan kain sarung dan atau kain jarik sebagai penghangat tubuh dari dinginnya udara pagi. Itu adalah saat yang tepat baginya untuk berangkat meninggalkan desanya. Ia tidak perlu berpapasan dengan orang lain yang beresiko akan mengetahui kepergiannya itu. Sebuah tugas yang sangat rahasia tidak boleh diketahui oleh siapapun. Dalam situasi peperangan seperti itu ia diajarkan untuk waspada.
Seperempat jarak yang sudah ditempuhnya. Diiringi semburat matahari pagi pemuda desa yang pemberani itu terus memacu kudanya lebih kencang. Ia harus bergegas sebab dengan bergeraknya matahari menempati posisi yang semakin tinggi artinya waktu yang harus dijangkaunya untuk menyerahkan surat kepada budanco PETA semakin sedikti. Ia harus tiba di markas sebelum dzuhur atau surat itu bakal terlambat untuk ia serahkan.
Akan tetapi sebuah peristiwa naas menimpanya. Ketika dengan penuh rasa khawatir ia memacu kudanya, sialnya, tiba-tiba tali kekang di leher kudanya terlepas. Tali kuda yang terlepas tentu saja tidak menghentikan leri kuda itu bahkan binatang itu semakin kencang, sontak badan Raswadi yang kecil tergunang-guncang hebat di atas punggung kuda yang berlari dengan tidak terkendali. Raswadi panik mendapati situasi bahwa dirinya dalam bahaya. Ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghentikan kudanya. Refleks akhirnya ia memutuskan untuk memeluk leher kuda yang ditungganginya, berharap ia bisa menghentikan lari kudanya namun yang ada malah kuda itu berlari kian cepat. Tubuh kecilnya terguncang-gungang hebat di atas punggung kuda hingga akhirnya ia terjatuh
Ngilu dirasakan dibagian tubuh yang terhempas . ke tanah. Susah namun ia tetap berusaha untuk bangkit. Ia berpikir bahwa kuda itu telah berlari meninggalkannya, kini pikirannya dipenuhi oleh kecemasan, bagaimana dia bisa melanjutkan perjalanan? Atau bagaiamana ia bisa pulang, sebab perjalanan yang ditempuhnya sudah sedemikian jauh. Terbayang betapa beratnya jika ia harus menempuh jalan pulang dengan berjalan kaki, namun kemudian ia merasa takjub sebab di depan sana kuda yang ditungginya itu masih ada, berdiri seakan menunggunya. Raswadi tentu saja merasa sangat lega. Artinya ia bisa selamat melanjutkan perjalanan hingga bisa kembali pulang nanti. Pengalaman jatuh dari kuda ini menjadi satu kisah yang sangat berkesan baginya. Kelak ia akan menceritakan kisah heroik ini pada anak-anaknya.
Namanya Raswadi, lahir pada tahun 1931, tentu saja ketika itu Belanda masih menjajah Indonesia. Terlahir di zaman yang penuh kesengsaraan tentu bukan pilihan yang menguntungkan. Seandainya manusia bisa memilih kapan dilahirkan ke dunia tentunya setiap orang akan menolak dilahirkan di zaman kolonial. Lahir hannya untuk menjadi bagian dari rakyat yang tertindas. Hidup dalam lingkup dunia yang tidak menjanjikan apa-apa kecuali kemelaratan, kebodohan, kehinaan.
Ia anak pertama keluarga buruh tani dari Desa Kendalsari. Bapaknya hanya seorang petani miskin yang hanya memiliki sedikit sawah untuk menghidupi keluarganya. Selain sawah yang tidak luas sebenarnya keluarga mereka juga memiliki tanah yang cukup luas, namun sayangnya memiliki tanah yang luas bukanlah yang istimewa mengingat harga tanah yang kelewat murah. Harga tanah tidak lebih berharga dari satu liter beras.
Penjajah Jepang yang sering merampas harta benda dengan sangat serakah. Tentu saja itu membuat rakya hidup dalam kemiskinan. Sebagai imbasnya orang-orang lebih membutuhkan beras untuk cara untuk menjarah harta benda rakyat jelata dengan cara yang manipulatif. Biasanya di hari-hari tertentu yang sudah mereka atur, pada pagi hari mereka membunyikan sirene yang mengaum terdengar oleh semua warga desa. Serentak, seluruh warga harus berlari dan masuk ke dalam lubang di dalam rumah untuk berlindung.
Setiap rumah diwajibkan untuk membuat lubang persembunyian semacam bunker. Tentara Jepang memberitahukan bahwa akan ada bom yang akan diledakkan oleh tentara Jepang. Rakyat harus bersembunyi setiap mendengar sirene berbunyi, mereka wajib masuk ke dalam lubang itu demi keselamatan. Dengan penuh ketakutan mereka mengikuti perintah itu, setiap kira-kira pukul sembilan pagi sirene berbunyi. Orang-orang bergegas menuju lubang perlindungan, dan di dalam sana mereka juga wajib menutup telinga sebab konon kata para tentara Jepang, suara bom yang sangat keras dapat menyebabkan telinga mereka menjadi tuli. Dan begitulah yang harus mereka lakukan selama pendudukan tentara Jepang. Mereka mengikutinya dengan rasa takut, tanpa curiga dengan maksud sebenarnya. Hanya saja setiap kali mereka keluar dari lubang persembunyian mereka menemukan bahwa simpanan bahan makanan seperti beras dan jagung sudah lenyap selepas mereka bersembunyi di dalam lubang.
Pada awalnya mereka tidak menyadari maksud busuk para tentara Jepang itu, namun lama kelamaan mereka paham bahwa sebenarnya bunyi sirene itu hanya akal-akalan mereka untuk menjarah bahan makanan yang mereka simpan di rumah masing-masing. Dengan cara itu mereka dengan leluasa menjarah apa saja yang dimiliki oleh rakyat. Rakyat dibuat miskin, dikuras hartanya hingga tandas, tidak ada yang tersisa di rumah mereka, apa saja yang bisa dijarah, tentara Jepang tidak akan melewatkannya. Sengsara, kelaparan selama masa penjajah Jepang ini.h Begitu susahnya bahan pangan hingga rakyat hanya bisa makan nasi jagung, beras menjadi barang langka, tak ayal ketika penyakit busung lapar menjangkit kaum rakyat jelata.
Begitulah hari-hari yang harus dijalani, hari-hari yang suram bagi rakyat yang hidup di bawah kekuasaan penjajah. Tidak ada penjajah yang memikirkan kesejahteraan pribumi, baik itu Portugis maupun Belanda. Yang mereka lakukan hanyalah mengeruk kekayaan negeri jajahannya hingga tandas, tidak menyisakkan apapun kecuali kemelaratan dan kebodohan.
Raswadi termasuk anak desa Kendalsari yang sangat menonjol. Pada saat anak lelaki seusianya tidak bersekolah, ia mampu menyelesaikan sekolah hingga tamat Sekolah Rakyat. Teman-teman seusianya merasa segan dan cenderung menghormatinya. Masa itu seseorang yang berpendidikan dianggap istimewa, ya tentu saja, sebab orang berpendidikan sangat langka, belum tentu di dalam satu desa ada setidaknya satu orang anak yang bersekolah. Jika ada mereka hanya mencicipi pendidikan satu atau dua tahun saja. Tidak ada motivasi besar yang mendukung anak-anak semangat bersekolah, lebih menyenangkan bagi mereka untuk bermain atau disuruh orang tua membantu pekerjaan di sawah atau kebun. Bagi orang-orang desa miskin yang terjajah pendidikan sama sekali bukan sebuah prioritas.
Selepas peristiwa ia jatuh dari menunggang kuda ia tetap bergabung dengan PETA. Meski ada sedikit trauma namun kemudian yang lebih terasa adalah kebanggaan karena ia telah menyelesaikan tugas dengan baik. Budanco memujinya sebagai seorang anak yang pemberani dan ia diminta untuk bersedia jika suatu ketika diberi tugas yang sama maupun tugas yang berbeda. Pengalaman itu membekas kuat di benak Raswadi. Jiwa petualangan berkobar, ia menjadi penasaran untuk melakukan tugas-tugas lain yang menantang. Ia merasa senang, jiwa mudanya dipenuhi oleh kebanggan luar biasa, ia berrtekad untuk melakukan tugas-tugas baru yang menantang.
Simbong, demikian ia memanggil ibunya, di sisi lain, merasa keberatan dengan keputusannya menjadi giyuhei. Menjadi tentara artinya bersiap dengan berperang, yang artinya juga sangat dekat dengan kematian. Simbong sudah banyak melihat orang-orang di desanya yang hilang karena dipaksa menjadi romusha atau berbagai kejadian lain selama perang, dia tentu saja tidak ingin anaknya melakukan hal-hal yang berisiko pada kehilangan nyawa. Itu adalah naluri yang sangat wajar bagi seorang ibu. Pastinya sangat berat melepaskan anak lelakinya untuk berperang.
Simbong hanya mempunyai dua orang anak lelaki, Raswadi dan adiknya yang bungsu yang bernama Carto. Carto masih kecil, jadi hanya Raswadi-lah yang menjadi andalannya untuk membantu pekerjaan rumah, sebab anak-anak yang lain adalah perempuan.
Hari ini, sore selepas suara muazin mengumandangkan adzan di mushola terdekat, Simbong mulai sibuk menyalakan api di tungku yang tersusun dari batu bata. Warna batu bata yang menghitam menunjukkan bahwa tunggu itu telah digunakan berpuluh tahun. Di bagian belakang tunggu onggokan abu sisa kayu bakar dibiarkan menggunduk. Cahaya matahari sore menerobos dari lubang-lubang dinding bilik bambu, cahaya matahari itu jatuh ke lantai dapur yang terbuat dari tanah liat. Cahaya yang jatuh itu membentuk sinar-sinar bundar yang kemilau cemerlang. Ada juga cahaya matahari yang menembus lubang-lubang bilik bambu di bawah atap, cahayanya bukan jatuh ke lantai namun jetuh ke dinding bilik yang searah. Cahaya itu seringkali menyilaukan bagi orang yang kebetulan bersitatap.
Api mulai membesar, simbong Suryi meletakkan kuali untuk menanak nasi. Dibantu anak perempuannya yang bernama Warmen mereka mulai sibuk memasak untuk menyiaokan makan malam, masakan sederhana seperti biasa, nasi, kuluban kangkung, sambel dan ikan asin. Masakan yang bisa disiapkan oleh keluarga dari kalngan rakyat jelata. . Raswadi muncul dari balik bilik kamarnya.
“Mau kemana kamu Ras?”
Simbong Suryi merasa heran melihat anak laki-lakinya keluar kamar sambil menenteng ransel di punggungnya. Perasaannya seketika menjadi tidak enak, ia mencium sebuah gelagat bahwa anaknya akan pergi jauh.
“Budanco menyuruhku datang ke markas di Penggarit, aku harus berangkat sore ini juga.”
Simbong Suryi merasa kaget dengan jawaban anak laki-lakinya.
“Kok mendadak?”
“Iya.”
“Kamu berangkat dengan siapa?”