Daun-daun lembayung yang terkumpul ia satukan dalam ikatan bilah-bilah sembilu yang sangat kuat. Puluhan ikat daun lembayung yang berhasil ia per oleh hari ini ia satukan dalam bakul besar. Ia akan berkeliling kampung untuk menjualnya. Ia masih muda, usainya juga baru belasan tahun. Tahun 1941 ia dilahirkan, jadi saat Jepang menjajah Indonesia, ia baru berusia empat tahun. Ia mengalami saat pagi hari ia dan saudara-saudaranya harus bersembuyi di lubang perlindungan setiap kali suara sirene bergema di penjuru desanya.
“Kenapa masih bunyi ya cilenenya? Padahal sudah dibuatkan bubur putih dan bubur merah?” keluh salah seorang saudaranya yang dua tahun lebih tua dengan cara berbicara yang masih cedal.
Marpuah hanya bisa mengiyakan? Dalam hati ia juga merasa heran sebab kata simaknya bahwa Jepang akan pergi jika mereka membuat bubur warna merah dan putih. Namun kenyataannya mereka tetap harus bersembunyi di lubang persembunyian setiap terdengar suara sirene dari pengeras suara di balai desa. Ia masih kanak-kanak, belum bisa memahami apa yang sedang terjadi di dunia masa kecilnya. Dia hanya mengerti bahwa dunia di sekitarnya sedang tidak baik-baik saja.
Di sisi lain, orang tuanya mengajarkan bahwa untuk mengatasi hal-hal yang sulit, mereka bisa melakukan sebuah ritual misalnya membuat bubur merah putih. Pemikiran orang desa yang sangat sederhana. Mereka terbiasa melakukan sebuah ritual yang tidak masuk akal. Membuat bubur merah dan putih untuk tolak bala supaya sirene tentara Jepang tidak berbunyi. Atau mungkin itu hanya kalimat penghibur bagi anak-anak kecil supaya tidak ketakutan setiap kali sirene berbunyi di penjuru desa mereka.
Kecantikannya diakui oleh seluruh warga Desa Kendalsari. Kulit putih bersih, wajah tirus, rambut panjang ikal terurai. Di antara para gadis di Desa Kendalsari hanya dia yang termasuk gadis pintar. Setidaknya dia pernah bersekolah di Sekolah Rakyat, meskipun hanya sampai kelas 2 SR namun cukup baginya bisa membaca dan berhitung, sementara anak-anak perempuan lain bodoh dan buta huruf. Selain itu, dia anak seorang kiai yang sangat dihormati. Tokoh masyarakat yang terpandang dan sangat disegani. Marfuah sudah belajar mengaji sejak kecil, pengetahuan agamanya cukup baik. Ia tidak pernah meninggalkan sholat, bahkan sering kali ia mengajak anak-anak perempuan untuk sholat di musholla. Itu menunjukkan bahwa dia memiliki pengaruh yang cukup besar bagi anak-anak perempuan seusianya. Marfuah seumpama berlian yang tersembunyi di antara tumpukan kerikil. Dia cantik, pandai membaca dan menulis, taat beribadah.
Masa itu memang tidak ada orang yang menganggap penting pendidikan. Apalagi untuk anak perempuan. Pendidikan tidak membuat seorang gadis terangkat derajatnya. Lebih baik mereka segera dinikahkan. Daripada menjadi perawan tua yang bisa menjadi aib bagi keluarga. Orang-orang beranggapan bahwa mempunyai anak perempuan yang menikah di usai muda justru merupakan sebuah kebanggaan. Berarti anak mereka laris, laku, daripada sebaliknya, jika sampai usia puluhan tahun belum ada yang melamar, maka keluarga mereka merasa malu karena dianggap bahwa anak perempuannya tidak laku. Dan malangnya lagi adalah bahwa anak gadis yang dianggap tidak laku itu diyakini bahwa dirinya diikuti ataupun diganggu oleh hal-hal goib yang menimbulkan aura negatif, semacam energi neg atif yang bisa menimbulkan kesialan.
Stereotip semacam itu sudah melekat, mendarah daging di dalam paradigma berpikir warga Desa Kendalsari.
Semua pesona itu membuat seorang pemuda satu kampung kepincut dan melamarnya. Tidak perlu menunggu lama untuk mempertimbangkan perihal pernikahan dengan terlalu serius. Kedua keluarga sama-sama setuju untuk menikahkan keduanya. Dan mereka pun menikah dengan pesta cukup meriah selayaknya pernikahan orang-orang kampung.