“On behalf of Fox Airlines and the entire crew, I’d like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!”
Pengumuman terakhir berkumandang, pintu pesawat terbuka, dan saat yang dinanti-nantikan pun tiba.
Jujur, bagi seorang Cassandra Nasution, tiada hari dalam hidupnya, yang terasa lebih melelahkan dari hari ini. Perempuan cantik itu sudah terbang hampir 16 jam, dan kini matanya mulai terasa berat, seluruh tenaganya mulai raib, berganti dengan rasa nyeri yang menusuk hingga ke dalam tulang.
"Cass, are you ok?" bisik Mbak Helen, pramugari senior yang berdiri di sebelah. Cassandra bisa membohongi semua penumpang dengan riasan sempurna. Bedak tebal, serta pulasan lipstik kemerahan sanggup menyamarkan wajah pucatnya, akan tetapi di mata orang yang memiliki pengalaman serupa, Cassandra tidak bisa menyembunyikan performa.
“I’m ok, Mbak. Hanya … sedikit lelah,” aku Cassandra. Perempuan itu tidak berusaha mengelak atau menyangkal. Cassandra pasrah, percuma saja mau ditutupi seperti apapun, seniornya pasti sudah tahu apa yang dia rasakan. Satu saja yang diharap, semoga Mbak Helen tidak melaporkan apapun tentang kinerjanya.
“Tentu saja kamu lelah, Cassandra. Aku tidak habis pikir, apa yang ada di pikiran orang-orang itu ketika mengatur jadwal terbangmu? Aku tahu jadwalmu lebih flexible, kamu masih lajang, belum menikah, tapi Cass, apa kamu ga protes? Hampir setiap hari kamu terbang lebih dari 12 jam.”
Cassandra tidak membalas perkataan seniornya. Ia hanya diam sambil memberikan seulas senyuman pasrah sebagai jawaban. Bagaimana caranya memberi tahu Mbak Helen, kalau jadwal padatnya bukan karena kesalahan orang schedule, melainkan karena dia sendirilah yang menyanggupi bekerja di banyak shift hingga sering overtime.
“Ya sudah, penumpang sudah mulai berjalan keluar! Naikkan senyummu, Cass. Aku tidak mau diprotes hanya karena wajahmu kusut.”
“Ya, Mbak. Terima kasih atas perhatiannya,” jawab Cassandra.
Senyum Cassandra kembali merekah, tangannya segera terkatup di depan dada. Tak peduli apa terjadi, atas nama profesionalitas, seorang pramugari harus selalu memberikan senyuman terbaik.
“Terima kasih sudah terbang bersama kami, dan sampai jumpa di penerbangan selanjutnya,” sapa Cassandra pada setiap penumpang yang berjalan satu per satu meninggalkan pesawat.
“Hai cantik.” Sebuah suara sumbang masuk dalam telinga, kala suasana mulai sepi. Cerminan kata-kata pujian positif, akan tetapi terdengar sangat tidak nyaman bila keluar dari mulut orang tak dikenal.
“Boleh kenalan?” lanjut seorang bapak seraya mengulurkan tangan.
Cassandra terdiam, matanya sibuk memperhatikan manusia tak sopan yang berdiri di hadapan. Pakaiannya rapi, rambutnya klimis, hanya tingkahnya saja yang sedikit agresif. Tangannya terus menjurus, seperti tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyentuh tangan perempuan itu.
“Loh, kok diam saja? Namanya siapa?” tanyanya dengan nada memaksa.
“Maaf, Pak, saya hanya seorang profesional yang sedang menjalankan tugas. Sekali lagi maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan Bapak. Terima kasih telah terbang bersama kami, hati-hati di jalan, dan semoga harinya menyenangkan,” jawab Cassandra dengan seutas senyum. Tangannya masih terkatup sempurna di dada, berharap jika sang penumpang mengerti, jika dia tidak sedang dalam mood untuk mencari masalah dengan siapapun.
“Saya mengerti kalau ini masih jam kerja, jangan khawatir saya bisa menunggu. Kamu pasti lelah dan tak ada salahnya menikmati sedikit hiburan. Bagaimana jika malam ini kita pergi makan, lalu nyanyi-nyanyi di karaoke? Terdengar menyenangkan, bukan?” lanjutnya seraya dibarengi dengan kedipan mata.
”Ehm,” deham Mbak Helen yang pastinya juga merasa tidak nyaman mendengar kata-kata menyebalkan seperti itu. Dia menatap Cassandra, menanti kata-kata apa yang akan keluar dari mulut juniornya. Bibirnya sudah mulai gatal untuk membantu Cassandra menjawab pertanyaan menjijikan itu. Ia bahkan mulai bersiap untuk mengalihkan perhatian.
Masalahnya, kru lain tidak bisa turut campur dalam percakapan pribadi semacam itu. Maskapai punya SOP, aturan ketat yang tidak bisa dilanggar oleh pekerjanya, kecuali dalam situasi yang sudah tidak terkontrol.
“Maaf, tetapi ….”
“Ayolah! Jangan sombong begitu! Demi kepuasan penumpang, masa menemani karaoke saja ga bisa?”
Cassandra diam, tangannya mulai bergetar, hatinya dongkol dan sedikit gusar. Cassandra tahu, situasi seperti ini memang umum terjadi pada profesinya sebagai seorang pramugari. Dia dan bahkan beberapa teman lainnya sering mendapatkan perlakuan serupa.
Di hari lain, Cassandra akan mencoba meladeni perkataan itu dengan kata-kata sopan. Mencari cara kreatif untuk menghindar tanpa membuat siapapun tersinggung.
Tetapi hari ini …, rasa lelahnya sudah merasuk dalam jiwa, membuat emosinya sedikit meluap. Bagaimanapun juga ia bukan malaikat, Cassandra hanya seorang wanita biasa, yang bisa merasakan kesal dan marah.
“Maaf Bapak, tapi …,” sahut Cassandra dengan nada yang mulai meninggi.
“Pak, ayolah! Not cool!” potong penumpang terakhir yang mengantri di belakang.
Seorang pria berbadan tegap, tinggi dan cukup rupawan. Matanya sipit menajam, hidungnya mancung, bibirnya tipis, penampilannya sempurna bila dipadukan dengan rambut pendek rapinya yang berwarna hitam legam.
“Jangan ikut campur urusan orang!” kata bapak itu mulai kesal.
Pria itu hanya tersenyum. Dia tidak tampak panik, walaupun raut wajahnya terlihat lebih serius. Tangannya meraba headphone besar berwarna hijau terang yang tergantung di telinga, lalu perlahan dikalungkannya di leher. Dengan sedikit seringai di bibir, dia menatap bapak itu dengan cukup tajam.
“C’mon, Pak. Dia pramugari profesional. Tugasnya bukan untuk menemani makan malam dan karaoke. Jika Bapak membutuhkan teman wanita untuk bersantai, kusarankan Bapak mencari orang yang berprofesi demikian.”
Nadanya tajam penuh sindiran, lengannya menjurus ke depan, sedikit mendorong hingga membuat si bapak tergelincir beberapa langkah ke belakang.
Pria paruh baya itu berbalik, wajahnya berubah kemerahan. Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti itu oleh sesama penumpang?
Ia menatap pemuda itu penuh emosi, hingga seluruh cabin crew mulai mempersiapkan diri. Semua berjaga-jaga, bersiap melakukan tindakan jika terjadi keributan. Termasuk Cassandra, pramugari itu sudah bersiap melerai andai terjadi perkelahian.
“Maaf, saya tidak sengaja,” kata pemuda itu berpura-pura bodoh. Ia mengangkat tangan seolah menyerah, wajahnya tampak santai, senyumnya masih tergantung sempurna. “Saya minta maaf, saya tidak berniat mencari masalah di sini,” lanjutnya sambil menarik lengan jaketnya, mempertontonkan tattoo bergambar singa yang terpampang di sana.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, tetapi hanya dalam hitungan detik bapak itu menyerah. Ia menunduk malu dan memutuskan untuk pergi.