“Diminum dulu, Cass,” kata Mbak Helen seraya memberikan secangkir teh manis hangat yang baru saja dibuatnya di pantry.
Cassandra memegang cangkir beserta piring alasnya sekuat tenaga. Tangannya sanggup menopang, meski sesekali terdengar dentingan suara kaca beradu. Getaran tangan sulit berhenti begitu saja.
“Cassandra, kamu ga bisa begini terus. Aku akan coba lapor orang schedule, agar mereka mengurangi jadwal terbangmu.”
“J-jangan, Mbak. K-kumohon, jangan laporkan apapun. A-aku tidak apa-apa kok. Cuma p-perlu sedikit istirahat.”
"Tapi …."
"A-aku sungguh t-tidak apa-apa, Mbak. Hanya sedikit pusing. Setelah minum obat serta tidur panjang, besok pasti sudah bisa beraktifitas seperti semula," jawab Cassandra sambil menyeruput teh pemberian seniornya. Rasanya manis dan hangat, sangat membantu untuk membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
“Kamu yakin?”
"Hmmm," gumam Cassandra mengangguk lemah. Disunggingkan senyuman selebar-lebarnya, berharap agar rekannya berhenti mengkhawatirkan keadaannya.
"Tenang, Mbak. Aku jamin, aku akan baik-baik saja.”
“Syukur deh kalau begitu. Jaga kesehatan kamu, Cass. Istirahat yang cukup.”
“Ya, Mbak. Sekali lagi, terima kasih banyak atas semua perhatiannya.”
“Hmm, baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu, ya. Suami sudah jemput dari tadi, ga enak kalau membuatnya menunggu terlalu lama."
“Hmm,” gumam Cassandra sambil mengangguk lemah. Disunggingkannya sedikit senyuman, perempuan itu harus menunjukkan pada dunia jika ia terlihat baik-baik saja.
“Bye Cass.”
"Bye, Mbak Helen,” jawab Cassandra melambaikan tangan.
Cassandra menarik nafas panjang, dalam beberapa detik, ia diam termangu. Pandangannya terpaku pada sang senior yang berjalan menjauh meninggalkannya seorang diri.
Senyum Cassandra kembali tersimpul, ketika matanya menatap Mbak Helen berlari memeluk pasangan hidupnya. Wajah mereka tampak bahagia, dilengkapi dengan senyuman merekah sempurna. Pemandangan indah yang sepertinya sangat mustahil untuk diraih orang sepertinya.
“Sial, keberuntungan memang bukan milik semua orang,” bisik Cassandra pada diri sendiri. Ia segera berdiri, matanya kini beralih pada rangkaian bunga besar yang ada di depan.
Perlahan-lahan, kakinya melangkah mendekati benda indah di depan. Bentuknya sudah tak lagi sempurna, pastinya beberapa tangan jahil dari rekan-rekannya sudah mencabuti tangkai-tangkai bunga mawar merah itu. Mereka membawanya pulang sebagai kenang-kenangan.
“Apakah benar benda indah ini untukku?" pikir Cassandra sambil memperhatikan setiap detail dari rangkaian bunga itu. Apa benar dia yang telah mengirimkannya? Satu-satunya pria yang mengisi hatinya dengan jutaan kenangan. Kira-kira apa yang ada di pikiran lelaki itu? Kenapa dia melakukan hal gila seperti ini?
"Aku tidak suka bunga!" Suara lembut yang tiba-tiba datang berbisik dalam hati. Cerminan memori yang tak kuasa datang menggema tanpa izin.
“Henry, ayolah! Harus berapa kali harus kukatakan, aku tidak suka bunga! Jadi, jangan hamburkan uangmu hanya untuk membelikanku sesuatu yang tidak berguna seperti ini, mengerti?” Sebuah kata yang reflek diucapkan Cassandra, saat dahulu tangannya menggendong sebuah rangkaian mawar putih besar pemberian kekasihnya.
“Tidak, aku tidak mengerti,” jawab pria itu sambil menggelengkan kepala. Wajahnya tengil walaupun senyumnya menawan seperti biasanya. “Tidak mungkin, lagipula perempuan mana yang tidak suka bunga?”
“Perempuan seperti aku, Henry!” jawab Cassandra tegas.
Dalamnya laut bisa diukur, tetapi dalamnya hati perempuan tak ada yang pernah tahu. Bunga itu indah, harum dan menawan, hadiah istimewa yang membuat hati Cassandra bergetar cukup kencang. Walaupun demikian, perempuan itu memilih menyembunyikan perasaannya. Cassandra bisa meminta banyak hal pada kekasihnya. Henry Gunawan adalah anak seorang pengusaha sukses dan terkenal. Bunga satu truk pun bukan masalah baginya, hanya saja … Cassandra bukan wanita seperti itu.
“Jangan bohong, Cass! Kamu suka bunga,” jawab pria itu tanpa ragu.
“Aku tidak suka! Itu mahal, dan … cepat layu.”
“Tapi harum dan indah. Ayolah, kamu suka bunga, Cass! Kamu hanya tidak suka jika aku menghabiskan uang untukmu. Tapi akuilah, kamu suka pemberianku! Sejak tadi, matamu tidak berkedip, bibirmu juga tidak berhenti tersenyum saat melihat rangkaian mawar putih itu. Jujurlah padaku Cass! Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun dariku. Bukankah aku sudah berjanji untuk membuatmu menjadi wanita paling bahagia di dunia? Itu sebabnya aku harus tahu, semua hal yang membuatmu tersenyum.”
“Y-ya … t-tapi bukan bunga ini!” jawab Cassandra sedikit luluh. Kata-kata manis mungkin terdengar bullshit, tapi terkadang sangat ampuh untuk meluluhkan hati.
“Lalu apa? Beri tahu aku, kamu suka apa? Bunga bank? Deposito?”
“Bukan, bukan itu juga!"
“Lalu? Ayolah, Cass! Katakan, apa yang kamu suka?”
“Mawar,” sahut Cassandra dengan seutas senyum.
“See! Apa kubilang, kamu pasti suka bunga dariku.”
“Bukan yang putih, Henry, tapi yang merah,” jawab Cassandra menyerah. Dia tidak bisa mengelak atau berbohong. Tidak di hadapan pria itu. Henry tidak seperti lelaki lain yang pernah mengisi hidupnya. Dia adalah satu-satunya orang yang sanggup menembus kedalaman hatinya.