Cassandra merasa sangat tidak nyaman. Sudah dari beberapa menit yang lalu, ia merasa gelisah sampai-sampai dahinya meneteskan banyak keringat.
Jantungnya berdegup kencang, pandangannya terus beralih ke kiri kanan, memperhatikan setiap mata yang menjurus ke arahnya. Sialan, semua orang menatapnya dengan lekat, seolah-olah menghakimi perempuan malang itu dengan jutaan prasangka.
Sejak kata pelakor diteriakkan Melissa untuknya, kini perasaannya benar-benar kacau. Jika ia boleh memilih, Cassandra sudah tidak ingin berdiri di sini. Sejak tadi, otaknya sudah memerintahkan kakinya untuk minggat, lari, pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang mau mendekat pada masalah. Mempermalukan diri sendiri, bukan opsi baik untuk dilakukan, apalagi untuk orang yang hidup dengan jutaan trauma seperti Cassandra.
Ingin sekali ia pergi, lari menghindar seperti pengecut. Tapi Cassandra mengurungkan niatnya. Tidak ada gunanya melakukan hal yang tidak perlu. Ia sadar, posisinya benar-benar terjepit. Perempuan itu sudah tidak punya ruang untuk melarikan diri.
Cepat atau lambat, perkara dari masa lalu akan datang menghantui, dan sebelum semua berubah menjadi lebih runyam, Cassandra berharap ia bisa menyelesaikannya secepat mungkin. Ia tidak ingin, masalah ini berlarut-larut hingga menenggelamkannya masuk ke dalam jurang yang lebih dalam.
“Psst, pssttt,” bisik-bisik berisik masuk dalam telinga. Tak peduli rekan sejawat, ataupun orang tidak dikenal, mereka semua sibuk membicarakannya.
Cassandra memang tidak bisa mendengar setiap kata yang mereka ucapkan, tetapi otaknya sanggup menebak apa yang mereka pikirkan.
Siapa yang tidak penasaran, melihat seorang wanita hamil menangis histeris dan memanggil Cassandra dengan sebutan pelakor? Jangankan orang awam, bahkan kini beberapa security pun mulai berdatangan, berjaga bila terjadi keributan.
Cassandra tak bisa melarang siapapun untuk merangkai narasi sesuai imajinasi mereka masing-masing. Bukan rahasia lagi, jika manusia adalah makhluk kreatif dalam merangkai cerita, hanya saja, rasanya sangat menyakitkan, bila mereka menghakiminya hanya atas dasar ‘praduga’.
“Mau minum apa, Mel?” tanya Cassandra. Ia telah menghabiskan cukup banyak waktu untuk menenangkan teman lamanya. Cukup bersyukur, walaupun alot akhirnya Cassandra berhasil membujuk Melissa agar mau duduk bersama, menenangkan diri di salah satu cafe di bandara.
Cassandra tidak tahu sampai kapan fisiknya akan bertahan, untungnya, akalnya masih sedikit waras. Wanita itu tidak ingin membuat keributan di depan lounge tempatnya bekerja, apalagi ketika dia masih mengenakan seragam dinas. Setidaknya, bila masalah pribadinya memuncak, perempuan itu berharap, ia tidak terkena masalah dalam pekerjaannya juga.
“A-apa yang harus kulakukan?” tanya Melisa. Perempuan itu memang sudah tampak lebih tenang, tidak histeris seperti sebelumnya. Isakannya sudah mulai berhenti, walaupun wajahnya masih sembab, matanya merah. Nada suaranya pun terdengar sangat lemah. Sesekali tangannya sibuk mengusap air mata yang terus-terusan menetes di pipinya.
“Katakan padaku, Cass! Apa yang harus kulakukan?” kata-kata pertama yang keluar dari mulut Melissa setelah tangisannya berhenti.
Cassandra menutup mulutnya rapat-rapat. Seandainya saja wanita itu tahu jawaban atas pertanyaan temannya, sudah pasti ia akan menjawabnya. Akan tetapi, sampai saat ini pun, Cassandra masih tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
“Aku tidak tahu, Mel,” jawab Cassandra. “Aku sungguh tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu, sebelum kamu menjelaskan permasalahannya terlebih dahulu.”
Wanita hamil itu tidak menjawab. Ia mengeluarkan senyuman sinis, menggelengkan kepala, lalu kembali menangis. Ia benar-benar membuat kepala Cassandra pening.
“Mel, kumohon, kita tidak bisa bicara jika kamu emosi seperti ini. A-aku….” Cassandra menghentikan kata-katanya. Mereka sudah pindah tempat, akan tetapi tatapan mata orang-orang tetap mengikuti.
Bicara sambil diperhatikan tidaklah nyaman. Cassandra sadar, ia harus sangat berhati-hati dengan volume suaranya. Dia tidak mau ada siapapun yang mendengarkan setiap perkataannya, termasuk pria tak dikenal yang duduk persis membelakanginya.
“Kumohon tunggulah sebentar, aku pesan minuman dulu,” lanjut Cassandra. Ia segera berdiri lalu berjalan ke arah cashier.
Cassandra memesan secangkir teh panas, dan segelas kopi hitam dengan ukuran besar. Sejujurnya, ia benci meminum cairan hitam pekat itu di malam hari. Penyakit lambungnya bisa kambuh jika Cassandra minum kopi sebanyak ini. Tapi, wanita itu tidak punya pilihan lain. Di malam menyebalkan ini, ia tidak ingin tubuhnya yang lemah ambruk begitu saja.
“Minumlah dulu,” kata Cassandra sambil menaruh cangkir berisi teh manis hangat di hadapan Melissa. Diseruputnya kopi hitam miliknya beberapa kali. Rasanya membuat bergidik, akan tetapi tetap diteguknya. Cassandra berharap kopi ini adalah hal terpahit yang harus ditelannya hari ini.