“Anak haram!”
“Anak haram, masa sih? Anaknya cantik begitu, mana putih, lucu imut-imut.”
“Jangan ketipu, ibu-ibu! Wajahnya boleh cantik, tapi tetap saja anak di luar nikah! Sejak anak itu lahir, sudah ga ada bapaknya. Ya, jelas saja, anak pelakor!”
“Pelakor?”
“Iya! Ibunya perempuan ga bener. Dulu pernah ketahuan selingkuh dengan pria beristri. Mana sampai hamil pula! Parahnya lagi … setelah ketahuan oleh istri sahnya, dia dibuang seperti sampah! Ya iyalah, mana ada pria yang mau mempertahankan wanita murahan seperti dia? Pasti lebih pilih balik lagi ke istri sahnya, mana lebih kaya, cantik dan anggun, ga seperti si pelakor.”
“Masa iya?”
“Iya, makanya hati-hati! Jagain suami ibu-ibu semua, supaya jauh-jauh dari perempuan-perempuan gatel seperti mereka! Bisa gawat kalau laki kita ketempelan pelakor!”
Sejak kecil, kata-kata itu sudah sering hinggap di telinga Cassandra. Setiap kaki kecilnya melangkah menyusuri gang sempit di depan rumah, semua orang akan berbisik dan mengatakan hal-hal buruk tentangnya.
Tak peduli dimanapun ia berada. Baik di lingkungan tempat tinggal, tempat bermain ataupun sekolah, mereka semua selalu mengatakan hal semacam itu setiap kali menatap wajahnya. Kata-kata seperti anak haram, ataupun anak pelakor sudah tidak asing di telinga, bahkan sejak ia masih sangat kecil.
Pada awalnya, ia tidak peduli dengan semua itu. Cassandra ingat, ada masa dimana dia pernah menjadi anak kecil polos yang tidak mengerti dengan kerumitan dunia orang dewasa. Bagi anak umur 7 tahun, kata-kata itu tidak berarti apa-apa, walaupun lama-kelamaan suara itu terdengar semakin keras dan menyakitkan.
“Hei anak pelakor, mana bapaknya? Ga ada ya? Makanya bilangin sama ibumu, kalau jadi perempuan itu jangan murahan. Udah tahu laki orang, masih aja disosor, kaya ga ada laki lain aja!”
“Jauh-jauh! Jangan main dengan anak-anak kami! Nanti penyakit gatel dari ibumu nular!”
Cassandra selalu bertanya-tanya, kesalahan apa yang diperbuatnya, hingga mereka menganggapnya seperti monster menjijikkan? Mengapa ia tidak boleh bermain bersama anak-anak lainnya? Kenapa mereka semua membencinya?
“Jangan didengar, Cass! Buat apa juga kamu dengerin omongan-omongan seperti itu? Membuat hidup jadi lebih baik, juga tidak! Mereka ga ngasih uang, ga ngasih solusi juga. Lebih baik kamu belajar yang tekun! Mama akan bekerja keras untuk membiayai pendidikanmu, tugas Cassandra, hanya satu! Fokus dengan sekolah, belajar yang benar! Jadi, ayo siap-siap untuk ulangan besok, jangan sampai nilai kamu jelek, nanti tidak naik kelas!”
Perkataan seperti itu selalu keluar dari mulut ibunya setiap kali Cassandra bertanya tentang nasib sialnya. Mama tidak pernah menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang memuaskan rasa ingin tahunya. Setiap Cassandra kecil bertanya tentang asal usulnya, wanita itu akan selalu mengalihkan perhatian dengan berbagai alasan.
Sialnya, Cassandra tidak bisa menjadi anak kecil untuk selamanya. Sejalan dengan bertambah usia, akhirnya ia tahu setiap makna menyakitkan di balik semua perkataan orang. Sepandai apapun ibunya menyembunyikan rahasia, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu menutupi kebenaran.
“Yes! I’ve made a mistake, Cass!” sahutnya sambil berurai air mata. “Mama akui, Mama salah! Mama tertipu. Mama bodoh, Mama terlalu polos hingga jatuh cinta pada pria yang salah. Mama tahu, dosa Mama terlalu besar dan … mungkin sudah tidak bisa dimaafkan. T-tapi, Cass … Mama mohon … jangan bicara seperti itu! Kamu bukan sebuah kesalahan! Sejak Mama mengandung kamu, hingga saat ini, Mama tidak pernah menganggap kamu sebagai kesalahan! Orang-orang boleh membenci kamu, karena kesalahan Mama, tetapi … bagi Mama, kamu adalah hadiah, berkat paling besar, yang diberikan Tuhan untuk Mama. S-sialnya …, Mama …, Oh Cass, M-Mama sungguh tidak tahu apa yang harus Mama lakukan untuk menebus dosa-dosa Mama, hingga kamu harus ikut menanggungnya juga. Mama m-mohon, Cassandra, maafkan ibumu ini.”
Berapa pun banyaknya air mata yang menetes di pipi ibunya, api emosi anak remaja terlampau sukar untuk dipadamkan. Ada kalanya, dimana Cassandra begitu marah, hingga tidak sanggup menerima kenyataan, jika ia berasal dari sebuah dosa.
Hingga pada suatu malam, amarahnya memuncak. Pikiran Cassandra dipenuhi kegelapan. Remaja itu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Solusi bodoh yang tampak sempurna, bila ingin memulai kehidupan baru.
Cassandra ingat, tangannya bergerak begitu cepat untuk mengemasi seluruh barang-barangnya. Ditulisnya sebuah surat berisi rangkaian kata selamat tinggal.
Dalam gelapnya malam, kakinya mengendap mendekati ibunya yang sedang tertidur pulas. Ditatapnya wajah wanita yang telah melahirkannya untuk yang terakhir kalinya. Dengan tas seberat 7 kilogram di punggung, Cassandra mengucap salam terakhir, sebelum ia melangkah menuju dunia luar.
Akan tetapi, di depan raut wajah ibunya, ia terdiam. Seketika itu juga niatnya pudar. Sirna seperti cahaya rembulan dalam heningnya pagi. Ketika matanya menatap setiap guratan penanda rasa lelah, sebuah kata dari mulut Mama kembali terngiang dalam ingatan.
“Sejak Mama mengandung kamu, hingga saat ini, Mama tidak pernah menganggap kamu sebagai sebuah kesalahan! Orang-orang boleh membenci kamu, karena kesalahan Mama, tetapi… bagi Mama, kamu adalah hadiah, berkat paling besar, yang diberikan Tuhan untuk Mama.”
Dilihatnya kembali wajahnya di depan cermin. Kedua tangannya, badan serta kakinya. Wujudnya lengkap sempurna, tanpa kekurangan suatu apapun. Kata-kata yang awalnya dikira Cassandra hanya pemanis yang keluar dari bibir Mama, kini terlihat nyata dalam wujud dirinya sendiri.
Memorinya kembali memutar semua yang telah dia lalui bersama dengan ibunya. Benar, Mama bukan manusia sempurna. Benar, jika setiap ibu pernah menyakiti hati anaknya. Tak dipungkiri Cassandra pernah mendapatkan pukulan, teriakkan menyakitkan, tetapi … jika diingat lebih dalam, Cassandra juga mendapat banyak pelukan dan ciuman hangat darinya.
Ibunya bekerja siang dan malam hanya untuknya. Tak peduli hujan ataupun badai, wanita yang dianggap hina itu, tetap berjuang sepenuh hati demi dirinya. Tidak adil, jika Cassandra hanya mengingat sebuah kepahitan, lalu melupakan semua kenangan manis diantara mereka berdua.
Kesalahan di masa lalu, tidak seharusnya mengecilkan arti dari pengorbanan dan cinta yang telah ditunjukkan seorang ibu pada anaknya.
Cassandra mengurungkan niatnya. Ia tidak bisa meninggalkan satu-satunya manusia yang menggapnya sebagai ‘berkat paling besar yang diberikan Tuhan’. Di saat, di luar sana semua orang memandangnya sebagai sebuah kesalahan. Sejak kecil sampai sekarang, hanya ibunya seorang yang selalu ada di sisinya. Bertahan bahkan pada masa terberat dalam kehidupan.