“Hi, um … kalau tidak salah … kamu anak baru yang bernama Cassandra?”
Semuanya masih jelas dalam ingatan. Saat ketika suara lembut itu masuk dalam telinga hingga membuat Cassandra membalikkan badan. Ia tidak pernah lupa, saat matanya menatap lekat gadis yang berdiri malu-malu di belakangnya.
Siapa yang bisa melupakan kejadian di hari itu? Momen saat pertama kali mata mereka saling bertatapan. Di bangku halaman sekolah, di bawah pohon tua rindang. Saat ia sedang duduk dalam sendirian, meratapi nasib sialnya, sambil mengunyah stik lidi pedas gurih kesukaan.
“Ya, aku Cassandra, ng … kalau kamu? Um, maaf sebelumnya, aku tahu kita satu kelas, tetapi aku benar-benar baru di sekolah ini, jadi … sorry kalau belum bisa mengingat nama banyak orang.”
“Ah, iya. Aku mengerti kok. Kalau begitu … kenalkan, namaku Melissa. Maukah kamu berteman denganku?” sahut perempuan itu dengan seulas senyuman manis disertai uluran tangan hangat yang siap untuk dijabat. Dalam beberapa detik, hati Cassandra sudah memerintahkan untuk menerima uluran tangan itu, walaupun akhirnya otaknya memutuskan untuk mengurungkan niatnya.
Dahi Cassandra mengkerut, pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. Cassandra sungguh tidak mengerti, kenapa ada satu orang manusia yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan? Entahlah… mungkin pengalaman seperti ini wajar untuk anak seusianya, akan tetapi bagi anak seorang pelakor, kejadian seperti ini adalah hal yang tak lazim terjadi.
Dengan segala kisah masa lalunya, Cassandra bahkan tidak pernah menduga, akan ada orang yang cukup nekat untuk menghampiri, mengajaknya bicara, bahkan menjulurkan tangan, serta menawarkan sebuah persahabatan.
“K-kamu yakin?” tanya Cassandra. Matanya menatap uluran tangan Melissa dengan cukup tajam. Cassandra tahu, mungkin perilakunya terlihat sombong, judes, dingin, tapi ia sungguh tidak bermaksud demikian. Ia hanya tidak mengerti cara untuk berteman. Untuk anak perempuan yang seumur hidupnya bersahabat dengan kesendirian, pembicaraan di hari itu benar-benar terasa … aneh.
“Y-yakin apa?” tanya Melissa yang juga tampak nyaman dengan pertanyaan Cassandra.
Cassandra memperhatikannya sekali lagi. Lebih teliti, dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Kalau boleh jujur, perempuan bernama Melissa itu tidak tampak seperti orang jahat. Gayanya juga tidak seperti kakak kelas, atau anak-anak kaum populer yang hobby merundungnya.
Dia tidak mengenakan banyak riasan. Rambutnya diikat ke belakang, tidak ada jepitan atau hiasan lucu dengan warna serba girly untuk membuat penampilannya memukau. Satu hal yang mencolok darinya, hanya kacamata besar yang sesekali melorot dari hidung, menutupi wajahnya yang putih manis.
Secara penampilan, tidak ada yang salah dari dirinya, hanya saja … apa dia benar-benar ingin berteman dengan perempuan seperti Cassandra?
“Yakin mau berteman denganku?” jawab Cassandra tanpa basa basi. “Apa kamu tahu siapa aku? For your information, aku tidak duduk di taman ini, menghabiskan waktu sendirian tanpa alasan.”
“Oh, memangnya apa yang salah? Kenapa aku tidak boleh menjadi temanmu?” jawabnya terheran-heran.
“B-bukan begitu. Hanya saja … aku ini adalah … ah, sudahlah!” Cassandra pasrah. Malas juga jika ia harus menjelaskan nasib buruknya pada semua orang.
“Maaf Cassandra, aku tidak berniat untuk mengganggu. Aku hanya … um, to be honest, kantin memang jauh lebih menyenangkan dari pada taman sepi ini. Di sana banyak tempat duduk nyaman, juga makanan enak, hanya saja … rasanya menyedihkan jika tidak ada seseorang yang menemani,” lanjut Melissa meneruskan pembicaraan mereka.
Akhirnya Cassandra mengerti, jika perempuan yang berdiri di depannya adalah makhluk serupa dengan dirinya. Manusia-manusia kesepian, yang tidak punya seseorang untuk mendengarkan kisah keluh kesah mereka.
Ingin sekali Cassandra menjabat tangannya. Dia bukan manusia anti sosial yang tidak mendambakan sebuah persahabatan, hanya saja ….
“Menjauhlah dariku,” jawab Cassandra lirih. “Maaf, bukannya aku tidak mau menjadi temanmu, hanya saja … ini semua demi kebaikanmu. Aku tidak mau, mereka ikut merundungmu, hanya karena kamu berteman denganku. Jadi … lain kali, dimanapun kamu berada, walaupun matamu menangkap keberadaanku, cobalah berpura-pura untuk tidak melihat.”
Melissa tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu dari mulut Cassandra. Sesungguhnya sebelum memberanikan diri untuk mengajak kenalan, Melissa pun sudah mendengar kabar tentang dia. Ibunya bahkan berkali-kali memperingatinya untuk tidak dekat-dekat dengan anak baru dengan sejarah buruk itu.
Tetapi, perempuan itu tidak menghiraukan semua perkataan semua orang. Baginya, gadis remaja itu tidak tampak seperti monster jahat. Lagipula selama ini, dia merasa kesulitan bergaul dengan teman yang lain yang terkesan lebih suci, jadi tak ada salahnya ia mencoba berteman dengan Cassandra. Kedua manusia yang pandai menyendiri, biasanya sudah mengerti, arti dari kata ‘kesepian’.
“Aku tak masalah,” jawab Melissa. Ia menaikkan tangannya lebih tinggi dari sebelumnya. Ia benar-benar tak ada niat untuk mundur sedikit juga.
“Hah? Apa perkataanku kurang jelas?” tanya Cassandra terheran-heran. “Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, kamu bisa dibully karena berteman denganku. Apa kamu tidak takut?”
“Tentu saja aku takut! Jadi musuh semua orang, bukan ide yang baik.”
“Lalu?”