“Cass, Cassandra.”
“Ah, suara itu ….”
Perempuan itu tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Seperti berdiri di tengah ruangan gelap, semuanya tampak hitam, pekat, menyesakkan.
Ia tidak pernah merasakan perasaan semacam ini sebelumnya. Rasa sakit luar biasa menjalar di sekujur tubuh, hingga membuatnya ingin menyerah pada keadaan.
Akan tetapi, ditengah lirih yang terasa, sebuah suara datang, memanggil namanya dengan lembut. Memberikan sedikit harapan juga semangat untuk bertahan.
“Cassandra ….” Suara itu bergema sekali lagi, dan kali ini terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
“Ya Ma, ini aku,” bisik wanita itu lemah. Tentu saja ia mengenali suara itu. Nada dari dia yang sudah lama dirindukan. Kata dari seseorang yang sudah lama tidak didengar.
“Kerja bagus, Nak. Mama bangga padamu.”
Oh Tuhan, apa lagi ini? Kata-kata singkat yang membangkitkan gejolak dalam dada. Rasanya begitu hangat, melegakan, bahkan membuat mata tidak bisa berhenti meneteskan air. Kata-kata yang mengandung magis, membuat semua rasa sakit dan perih hilang dalam seketika.
“Ma, apa Mama benar-benar bangga padaku?” bisiknya lagi.
Cassandra sudah lupa kapan terakhir kali suara itu memuji dirinya. Ia bahkan tidak ingat jika Mamanya pernah mengatakan hal seperti itu. Akan tetapi ... rasanya masih sama seperti ketika ia mendapat nilai sempurna saat sekolah dulu. Bahagia, sangat amat bahagia.
“Ma, Mama di mana?” lanjut Cassandra. “Kenapa Mama diam saja? I miss you so much. Cassandra kangen Mama. Kangen suara Mama, kangen pelukan Mama, semuanya. Kumohon, jangan pergi lagi. Jangan tinggalkan aku sendiri,” ucapan dari dalam lubuk hati yang paling dalam. Rasa rindu yang sudah tidak bisa dibendung lagi, tertahan dalam hati begitu lama.
“Kamu adalah hadiah, berkat paling besar, yang diberikan Tuhan untuk Mama. Mama sayang padamu.”
Seberkas cahaya masuk dalam indra, menerangi kegelapan dengan sinar menyilaukan. Perlahan mata Cassandra mulai dapat melihat, walaupun semuanya masih tampak samar.
“Ma? Mama?” panggilnya berulang kali. Perempuan itu mencari sosok ibunya. Cassandra tidak peduli, walaupun berulang kali ia memejamkan mata karena silau.
“Ma? Mama di mana? Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi,” ujarnya semakin keras. “Ma? Mama?’
“MAMA!” Mata wanita itu terbuka, ia terbangun dari mimpi panjangnya. Keringat dingin bercucuran membasahi dahi, nafasnya tersengal tak beraturan.
Perlahan tangannya merayap memegangi dada. Jantungnya berdetak sangat cepat, nyeri, panas, membuat rasa gelisah tidak nyaman.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” sahut seorang wanita saat melihat mata Cassandra terbuka. Ia berpakaian serba putih dengan stetoskop melingkar di leher.
“M-maaf, tapi ini d-di mana ini?” bisik Cassandra sambil melirik ke kiri dan kanan. Matanya mulai memperhatikan seluruh benda asing di sekitar.
“Tenanglah, kamu masih di terminal 3, ruang kesehatan lebih tepatnya. Menurut orang yang membawamu, kamu pingsan di salah satu cafe dekat sini.”
“Ah, cafe,” bisik Cassandra pasrah. Kini memorinya mulai kembali satu per satu. Ia ingat, pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum semua menghilang. Setelah menatap punggung mantan kekasihnya menjauh, penglihatan memudar, lalu ia kehilangan kesadaran.
“Bagaimana? Apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanyanya sambil memeriksa keadaan Cassandra.
“Hmmm,“ angguk Cassandra lemah. Ingin sekali ia menjawab dengan kata-kata yang lebih bersahabat, hanya saja tiba-tiba kepalanya terasa pening seperti tertusuk paku.
“Tekanan darah kamu rendah, wajah kamu pucat, jantungmu juga berdebar sangat kencang. Tubuh kamu overlimit. Tenanglah, untungnya ini bukan penyakit berbahaya, cukup minum vitamin, makan yang bergizi, dan yang istirahat yang cukup, setelah itu kamu akan pulih seperti semula.”
“T-terima kasih, Dok,” jawabnya lemah, sesekali bibirnya masih gemetar saat mengucap kata-kata. “T-terima kasih atas semua perhatiannya.”
“Sama-sama, eits, tapi … jangan lupa bilang terima kasih juga sama pacarnya. Kamu beruntung sekali dapat kekasih seperti dia.”
“P-pacar?” tanya Cassandra bingung.
“Iya, pria tampan yang membawa kamu ke sini. Dia menggendong kamu dari cafe, dan berlari kencang sekali. Kamu harus lihat wajahnya saat itu, dia benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu. So sweet baget, mirip adegan drama korea.”
“T-tapi a-aku tidak punya pacar.”
“Ah, sudahlah,” jawab dokter itu mengedipkan sebelah mata. “Tidak perlu malu-malu begitu,” bisiknya. “Aku sudah lama dinas di bandara, aku paham banyak pramugari yang tidak mau terbuka dengan kehidupan percintaannya. Rahasiamu aman bersamaku, ok? Sekarang istirahatlah dulu, akan kupanggilkan pacarmu. Sejak tadi dia menunggu di luar.”
Dokter itu berjalan, meninggalkan Cassandra dengan jutaan pertanyaan. Kira-kira siapa pria yang menggendongnya ke sini? Henry? Apa dia yang melakukannya? Tapi … tidak mungkin, bukankah pria itu sudah pergi saat tubuhnya tumbang. Atau … jangan-jangan dia berubah pikiran, lalu memutuskan untuk kembali menemuinya?
“Silahkan masuk, dia sudah sadar,” jawab Bu Dokter sambil mempersilahkan seorang pria masuk ke dalam. “Kutinggalkan kalian berdua, dan … um, kalau kalian perlu bantuan, aku ada di ruang sebelah, ok?” lanjutnya sambil menutup pintu.
Cassandra segera membalikkan badan, ia penasaran dengan wajah orang yang telah menolongnya. Ditatapnya wajah pria itu dengan lekat.
Dia bukan Henry atau seseorang yang sudah dikenalnya, tapi entah kenapa parasnya terlihat familiar. Perempuan itu merasa dia pernah melihat pria itu di suatu tempat. Hanya saja, sekeras apapun otaknya bekerja, hasilnya sia-sia. Cassandra tidak bisa mengingat apa-apa.
“Feeling better?” sahut pria itu sambil tersenyum. Jujur, senyumnya benar-benar manis memesona. Membuat Cassandra mematung dalam beberapa detik.
“Ya, sudah merasa lebih baik,” jawab perempuan itu. Ia harus mengedipkan matanya berulang-ulang, membuat dirinya tersadar dari lamunan. “Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya, jika tanpa bantuan anda.”
“Never mind. aku bersyukur kamu baik-baik saja. Kamu membuatku .., um, maksudku … bukan hanya aku, tapi semua orang di cafe itu cemas. Ah maaf, sampai lupa. Kenalkan, Matthew J. Chandra, you can call me Matt,” kata pria itu sambil menjulurkan tangannya.
“Cassandra, Cassandra Nasution,” lanjut Cassandra seraya menjabat tangannya. “Um, maaf, tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah anda tampak tidak asing di mata saya.”
“Well actually …, we met before. Twice I think, dan mungkin sekarang adalah pertemuan yang ketiga.”
“O, ya? Twice? Dua kali?” tanya Cassandra tak percaya. Bisa-bisanya dia melupakan pria yang bahkan sudah bertemu dengannya lebih dari satu kali.
“Hahaha, aku mengerti jika kamu tidak mengingat wajahku. Menurut beberapa orang, muka ini memang tidak memorable,” jawab pria itu sambil meletakkan jari telunjuk di hidungnya sendiri.