Mendung kelam kelabu menggantung menghiasi langit di Bumi Serambi Mekkah.
Siti Fatimah, gadis belia dan manis yang baru berusia empat belas tahun masih berdiri di antara ribuan pengungsi. Antre demi mendapatkan makan siang. Sebentar-sebentar memegang perutnya yang terasa melilit. Bukan. Bukan sakit, tapi lapar. Bagaimana tidak, sejak pagi perutnya belum terisi nasi. Semalam dia hanya makan malam dengan sebungkus mi instan. Mentah lagi. Mi diremuk dan dicampur bumbu, lalu dimakan seperti kerupuk. Tapi mau apalagi? Keadaan memaksanya hidup nelangsa seperti ini.
Ini bukan di rumah! Ini sebuah tempat pengungsian! Setelah bencana tsunami meluluhlantakkan Melauboh tercinta. Terbayang hari-hari indah kemarin, ketika dia masih tinggal bersama Abi, Bunda dan dua saudara kandungnya. Kak Mela yang cantik anggun, lembut dan baik hati. Kak Izal yang kalau bicara suara kasar-seperti membentak-bentak,-tapi sebenarnya penyayang.
Bencana gempa dan tsunami ini telah memisahkannya dari keluarga. Padahal pagi yang cerah itu, karena hari Ahad, mereka semua berada di rumah. Abi dan Bunda yang PNS libur.
Kak Mela yang kuliah di keperawatan pun sedang libur kuliah. Bang bekerja si bengkel mobil kebetulan sedang tak ada lembur.
Siti Fatimah masih mengingatnya. Ketika itu mereka sedang berkumpul di ruang makan, asyik menikmati sarapan pagi. Sambil berbincang santai menikmati masakan Bunda yang lezat kala bumi tempat mereka berpijak tiba-tiba bergoyang hebat! Keras! Sontak semua terperanjat.
”Ada gempa!” Bang Izal berteriak. Makanan di meja berhamburan porak poranda ke lantai. Bahkan Kak Mela terjatuh dari tempat duduknya. Bingkai foto yang tertempel di dinding berjatuhan. Lampu-lampu di langit rumah bergoyang kencang. Semuanya panik. Berlarian ke luar rumah. Menyelamatkan diri. Beruntung semuanya selamat. Tapi akibat gempa, sebagian tembok rumah runtuh. Dan belum lagi mereka tenang, gempa kembali mengguncang. Walau tak sehebat yang pertama tapi mereka ketakutan juga.
”Kita mengungsi saja, ” Abi mengambil inisiatif.
”Lebih baik kita meninggalkan rumah supaya selamat, ” Bang Izal mendukung usul Abi. Kak Mela pun setuju. Siti Fatimah memeluk Bunda, mengiyakan.
”Tapi ke mana kita hendak mengungsi, Abi?” untuk Bunda bertanya.
”Ke rumah nenek di atas bukit...”
”Yang penting kita meninggalkan tempat ini kan, Abi.” Siti Fatimah memandang Abi. Abi tersenyum dan mengusap pipi ranumnya. ”Iya, putri Abi yang paling cantik.”
”Kak Mela lebih cantik daripada Siti, ” ia menggumam. Abi tertawa. Kak Mela menowel pipi adik bungsunya.”Kita sama-sama cantik, Sayang. Putri Abi semuanya cantik-cantik. Tercantik-cantik. Cantiknya tidak hanya rupa, tapi juga hati. Itu maksud Abi. Iya, kan, Bi?” Kak Mela menyentuh bahu Abi yang kekar. Bahu-bahu yang dulu sering dan pernah menggendong ketiga permata hati. Bahu yang pula menjadi tempat bersandar Mak bila lelah. Bahu yang menjadi tameng ketika keluarga kecil mereka diancam bencana. Seperti saat itu…
Abi tetap tersenyum meski hatinya berkecamuk kegelisahan, seiring gempa yang kemudian terjadi berulang-berulang. Tak ada lagi waktu menunda. Abi memutuskan mereka segera meninggalkan rumah.
Kami segera berkemas-kemas membawa bekal mengungsi. Tak berapa lama mobil Abi telah melaju di jalam raya. Namun baru setengah jam kira-kira mobil berjalan…ketika dari arah belakang terdengar suara yang memekakkan telinga. Suara sangat keras! Seperti suara pesawat terbang! Ada apa ini?! Apa yang sebenarnya tengah terjadi?!
Dari balik kaca spion kami membeliak kaget, menyaksikan…..ombak tinggi dan keras bergulung-gulung datang mengejar! Seperti monster hendak memangsa buruan!
Abi mempercepat laju kendaraan. Namun kalah cepat dan terlambat. Gelombang lekat berkekuatan maha hebat, dahsyat menerjang mobil! Mengempaskannya jauh-jauh! Kuat-kuat membawanya…entah ke mana?!
Siti Fatimah masih ingat beliak keterkejutan Abi!
Siti Fatimah masih terngiang teriakan keras Bang Izal!
Siti Fatimah masih merekam beliak ketakutan Kak Mela!