Di ruang kepala sekolah yang sunyi, aroma tembakau tipis tercium menggantung di udara. Seorang siswi duduk santai di kursi tamu, menyilangkan kaki dengan sikap angkuh yang alami.
Di tangannya, sebatang rokok menyala redup, asapnya melingkar pelan menuju langit-langit. Wajahnya setenang permukaan danau, tapi matanya tajam seperti sedang mengukur dunia.
Di hadapannya tergeletak portofolio siswi baru bernama Azalea Xaviera Hartono. Beberapa lembar telah dibuka dan dibaca. Dia menelusuri tulisan itu dengan jari telunjuk, lalu meletakkannya kembali di atas meja dengan ringan. Tak ada ekspresi, tak ada komentar-hanya satu tiupan asap sebagai penutup penilaian.
Langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Kepala sekolah memasuki ruangan dan menghentikan langkahnya saat melihat siswi itu dengan rokok di tangan.
Namun, tidak ada teguran dan hanya diam.
Christin memutar wajahnya ke arah jendela yang besar. Cahaya pagi menyelinap masuk, mengenai separuh wajahnya yang dingin.
"Masukkan dia di kelasku," katanya tanpa menoleh.
Kepala sekolah tidak menjawab, tidak pula membantah. Dia hanya berdiri dalam diam. Perintah itu telah diterima.
Christin mengisap rokoknya sekali lagi, lalu mematikan bara di asbak kristal.
***
Di lapangan panahan, Arion berdiri sendiri. Panahnya melesat, lagi-lagi hanya menancap di angka delapan. Bukan sembilan, bukan sepuluh. Delapan Lagi dan lagi.
"Bodoh," desisnya sambil melempar busurnya dengan rasa frustrasi.
Di ruang ganti, dia membuka loker. Ketika menarik seragamnya, sebuah amplop kecil jatuh ke lantai. Ada stiker berbentuk hati yang menutupinya.
Arion tertawa kecil, "Fans lagi?"
Tapi tawa itu lenyap ketika dia membuka suratnya. Isinya singkat, tapi mematikan. Matanya membelalak. Arion meremas surat itu, napasnya terengah. "Siapa yang berani mengirim surat ini!"
*
Di ruang seni, Azalea duduk di depan gambang. Bu Mina membimbingnya dengan sabar. Irama masih berantakan, tapi semangat Azalea tak goyah.
"Sepertinya ini pertama kali kamu main alat musik tradisional ya," ujar Bu Mina, mencoba mencairkan suasana.
"Di sekolahku dulu, nggak ada yang begini," jawab Azalea, senyum sopan. Tapi nadanya tajam.
Bu Mina menatapnya sejenak, lalu bertanya, "Boleh aku tahu, kenapa kamu pindah ke sini? Dengan latar belakang sebaik itu..."
Azalea berhenti memukul nada. Dia meletakkan alat pemukulnya pelan, lalu menoleh.
"Karena saya butuh tempat yang bukan hanya bagus di atas kertas. Sekolah ini... katanya bisa mengembangkan potensi secara maksimal. Dan saya ingin tahu, apakah itu benar."
Bu Mina mengangguk pelan. Tapi sorot matanya berubah saat melihat ekspresi Azalea yang dingin dan menyimpan sesuatu.
*
Sementara itu, di rooftop lantai empat, Bianca menghisap rokok sambil memandang ke arah halaman depan sekolah. Zara duduk di sampingnya, memoles kuku.
"Aku dengar, sekolah kedatangan anak baru," gumam Zara tanpa mengangkat kepala.